KUTUNGGU KAU DI TIRTHAGANGGA

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 14 Juni 2020
PKYI

“Itu lihat! Di dasar telaga. Wajah Rani ada di sana. Cepat tuliskan! Sambut dia dalam larik-larik puisimu.”

“ Kok, di dasar telaga wajah Rani? Berarti Rani bersama rembulan? Kenapa ia tak langsung saja datang ke hadapanku. Apa ia malu melihatku seperti ini? Ah, tidak mungkin. Ia tahu isi hatiku.”  Laki-laki berambut gondrong itu menikmati Purnama raya. Ia terpesona dengan Purnama Kartika ini? Keduanya pernah berjanji saat Purnama Kapat akan bertemu di taman Tirthgangga.

“Rembulan sampaikan doaku padanya. Sampaikan aku setia menunggu di Tirthagangga. Ingatkan juga, dulu, ia berjanji akan selalu datang ke taman ini. Aku yakin ia masih ingat. Kuyakin itu rembulan.” Ia menggerutu pada rembulan. Wajah rembulan yang terang benderang tiba-tiba tersaput awan hitam. “Ah, rembulan kau menyakitiku kembali. Belum puaskah engkau seperti itu? Apa kau tega, melihatku seperti ini?”

Dalam keseharian, laki-laki itu selalu mencatatkan setiap langkah kehidupannya. beragam goresan dan beragam bentuk. Terkadang ia tuliskan menjadi sebuah puisi. Hidup ini adalah puisi. Terkadang ia susun sebuah cerita pendek, mengalurkan hidup.

Akhir-akhir ini, laki-laki itu semakin sering ke Tirthagangga. Tubuhnya dipeluk dingin. Ia kenakan kembali jaket lusuhnya. Ia panasi tubuhnya dengan sigaret kesukaannya. Cangklong pemberian Rani setia nyangkut di bibirnya. Ia tarik berulang-ulang napasnya. Ia tahan dan ia hembuskan. Ada kenikmatan ia rasakan untuk sementara.

 “Semoga air suci terus mengaliri pertiwi,” harapnya. Ia menatap semburan air di bawah beringin itu. Beringin berdaun lebat dengan akar-akarnya yang menjulur ke bawah. Beringin menyejuki bumi. Ia ingat pernah bermain air di telaga Tirthagangga. Ia cipratkan air ke muka Rani. Ia sembunyi di ke dalam telaga.

Kepalanya merunduk. Dengan setangkai bunga, puja-pujinya dilantunkan. “Berikanlah tempat yang terindah buat Rani, Hyang Widhi. Sampaikan bahwa aku menunggunya setiap Purnama Kartika di sini. Ia dulu pernah berjanji akan bersama-sama melihat Purnama. Sekarang, ingatkan Rani bahwa aku sudah menunggunya. Jika ia lupa, tolong berikan puisi ini. Pasti ia akan ingat lagi.”

            Ikan-ikan di telaga mendekat. Dikiranya membawa roti ataupun makanan buatnya. Ia kembali menjauh menyusuri pusaran air. Laki-laki itu menjulurkan kakinya di telaga. Ia memang gelisah. Gelisah, karena Rani menyuruhnya agar sering ke Tirthagangga. “Aku akan datang setiap Purnama Kartika. Tunggu saja di sana. Kita akan terbang ke bulan dan berlarian di bawah bayang-bayangnya.”

            “Benar itu Rani?”

            “Kapan aku pernah berbohong dan untuk apa?”

            Dingin menyengat. Hanya satu hatinya menunggu Rani di Tirthagangga. Lampu-lampu penginapan memantulkan sinarnya. Tamu-tamu menikmati liburannya bertemankan kesepian dan kesejukan. Lahan-lahan pertanian telah berubah wajah. Petak-petak sawah berubah fungsi. Ia mendesah. “Inilah hidup. Terus berubah.” Desiran angin menyadarkan dirinya bahwa malam semakin larut.

Ia melangkah bersama kenangan di taman Tirthagangga. Pancuran yang menjulang di tengah telaga, ia tatap berulang kali. “Dulu kau pernah duduk di sana. Ini fotomu masih kubawa.” Ia keluarkan foto Rani. Ia tatap berulang-ulang.

“Semoga waktu tidak memisahkan kita?”

“Maksudmu apa, Rani?”

“Entahlah. Aku sendiri tidak tahu kenapa, kata itu tiba-tiba muncul dari hatiku.Sudahlah mungkin ini hanya perasaanku saja. Tak usah diambil hati. Kita akan selalu menyatu dalam lantunan manisnya biji puisi.”

Kata-kata itu terngiang terus dalam hati laki-laki itu. Ia ingin tahu kenapa Rani, gadis pujaannya itu berkata aneh. Ia datangi kedua orang tuanya. Ia tunjukkan keberaniannya bahwa ia menaruh hati pada anak gadisnya. Tak banyak kata dari dari kedua orang tuanya. “Jika sudah karma, tidak bisa dilawan lagi. Jaga Rani, ia anak satu-satunya di keluarga kami. Rani adalah jiwa kami. Jangan sakiti dia.”

Laki-laki itu merasakan ada yang dirahasiakan oleh kedua orang tuanya. Ia terus mencari informasi mengenai Rani. Sampai pada satu titik, Rani itu adalah anak pungut yang diselamatkan dan dijadikan anak angkat. Meski begitu, kenapa masih ada rahasia yang ia rasakan? Ada apa lagi ini?

“Mungkin, aku mesti mencari yang lebih pasti lagi. Tapi, besok, aku harus keluar kota membawa tulisan-tulisan ini. Siapa tahu ada penerbit yang bersedia menerbitkannya. Ia sadar. Tidak bisa hidup hanya bermodalkan menulis puisi. Semakin hari, penulis puisi semakin tumbuh dan itu memang harapanku.”

“Rani, besok, aku keluar kota. Ada yang mau kubelikan?”

Senyum Rani menghiasi wajahnya ranum seperti delima merah.”Tak usah. Cukup kembali kemari dan bawa hatimu. Itu sudah cukup. Nanti sampaikan, jika mau kembali. Kutunggu di Tirthagangga. Di sana, kita akan menulis puisi lagi.”

“Pasti. Mungkin lagi satu minggu aku kembali.”

“Tak apa-apa. Sebulan juga boleh.”

“Marah ini?”

“Ndak. Biasa saja, kok.”

“Percayalah lagi seminggu. Kita nikmati taman Tirthagangga.”

Lak-laki itu meninggalkan Rani. Langkah demi langkah menjauhkannya. “Kembalilah cepat. Kutunggu di Tirthagangga,” bisik Rani.

Malam itu, panas tubuh Rani memuncak. Ia mengigau. Napasnya berat. Lehernya seperti tercekat. Kedua orang tuanya kalang kabut. Ia kompres dengan air hangat. Ia minta bantuan ke tetangga. “Kita ajak saja ke IGD. Tampaknya terjadi sesuatu dalam tubuh Rani. Pernapasan Rani bermasalah.”

Wajah Rani semakin memucat. Dengan suara pelan ia berkata, “Jika temanku datang lagi, katakan kutunggu di Tirthagangga.”

 

Catatan                               

Purnama Kartika/Kapat: Purnama keempat dalam kalender Bali sekitar bulan Oktober


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar