Lima Puisi Ni Wayan Adnyani

  • By Ni Wayan Adnyani
  • 26 Agustus 2020
Pexels.com

SAAT AKU  KEHILANGAN MUSIM


Ke mana aku bercerita
Ruang-ruang cahayaku telah gulita
bulan enggan bertandang
senyumanmu senyumanku kehilangan cerita
Menghadapmu hanya ada jarak
Kau menjauh dengan remuk tertatih bersedih

Aku rindu bermain udara
menghirup aromamu ke sumsum nadiku
sepuluh jari  telah aku cakupkan di susumu
tak pernah berhenti menjadi pendoa
beri aku mantra penawar
aku ingin menawar amarahmu
aku punya tarian, nyanyian dan puisi untuk bentaramu
kembalikan panggungku, kembalikan merduku, kuminta kata-katamu
ulurkan tanganmu membasuh doaku
diam-diam akan kututup luka-luka menganga di tiap jengkal tubuhmu

Di sini aku mendengar tangis sayupmu mengambang
di antara udara yang mengering
ingin  kubawakan musim bunga berpita merah muda
kembali di pelukanmu

Mei 2020

 

RUANG SEPI DI MUSIM PANDEMI


Di depan matahari
Aku membaca musim langit dan musim bumi  
sedang bercumbu menulis sejarah
menyepikan suka cita dan cerianya udara
dengan aroma cinta berwarna pekat
saat tanah surga terasa mendekat

Di dalam rumah,
Aku bermandi waktu
mengajarkan dua bocah memetik angin,
menganyam rumput dan menyemai bintang-bintang
menarik riuhnya dunia dalam cerita sepi di ruang-ruang cahaya
sambil berpura-pura tertawa kita bahagia
dan menanti musim membagi semua lukanya

Setelah enam kali purnama bertamu
musim tak mampu berbeda
musim ini memaksaku mencintai sepi
lalu bercermin dan menepi

Bebandem, Juni 2020

 

MENYISIR BULAN JULI


Bulan Juli berjalan dengan semestinya
tapi gerbang itu masih sepi
seperti empat purnama yang melintas
masih kosong dengan sempurna
tanah lapang mereka kehilangan rupa
anak-anak cahaya masih bersembuyi dengan terpaksa

aku teringat menderita
aku tak punya tempat
bercerita, mendongeng dan bertutur
apalagi menyemai benih-benih cahaya
sambil menatap matanya,
mengusap hatinya,
memeluk benaknya!

musim ini kejam, anakku!
jiwa kita direngut jarak dan kesakitan yang tak berwarna
dan rinduku hanya menjadi doa
tak kan habis buku-buku ini kau baca di udara
tak kan ingat benakmu dengan suara-suara yang tidak menyapa
dan aku bisa apa?

Kusisir bulan Juli dengan sedikit mantra
agar anak-anak cahaya masih ingat dengan gerbang dan tanah lapang
yang selalu bahagia memeluk harinya

Jungutan, Juli  2020

 

MENJADI PEREMPUAN DI MASA PANDEMI


Aku menjadi perempuan bersayap abu-abu
ada dua selendang menuntunku ke dua tempat yang berbeda
satu mengikatku pada aroma tungku di rumah tua
satu menyeretku dalam ruang kelas di langit langit maya

Di masa pandemi
di rumah anak-anakku mengikatkan diri pada rambut kusutku
di luar anak-anak musim memanggil-manggil namaku liar
Perempuan apa kupilih menjelma dalam tubuhku?
Menjadi perempuan dengan sepuluh jemari
yang sibuk meremas takdir,
ataukah menjelma perempuan cahaya tanpa warna bibir merah muda?

Sayapku sekarang retak dan berubah warna,
teramu dalam segelas madu yang tak punya rasa
Musim ini sungguh tawar
Aku menjadi dua perempuan sepi
pandemi ini memberiku keji sejati

Juni 2020

 

PURNAMA DI MUSIM PANDEMI


Purnama gelap ini menatapku tajam
sepertinya tidak terima jika aku datang
bunga di tanganku menggeliat lepas
pun gelapmu memadamkan dupa di genggaman

Kau menolakku purnama
kau tahu aku kehilangan khusuk dengan sempurna
dan ini bukan yang pertama
meski sembilan mata angin kupersembahkan sesaji
tiga arak berwarna suci membeku
melawan kesakitan yang mengambang di udara
dan aku akhirnya bertanya
Kugelapkan dirimu
atau kau menggelapkan wajahku

Juni 2020

 


TAGS :

Ni Wayan Adnyani

Guru Fisika yang bertugas  di SMAN 1 Bebandem sejak tahun 2003  yang menggemari sastra, alumnus Pasca Sarjana Undiksha Singaraja, menekuni kegiatan menulis puisi sejak bangku SMP . Sempat vakum lama dalam mempublikasikan tulisannya, kini aktif sebagai Pembina kegiatan nyastra dalam event PKB, Utsawa dan Porseni  

Komentar