Kabut Lereng Bedugul

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 18 Desember 2019
Ulun Danu Beratan, karya foto Ketut Sugiartha

Oleh: IBW Widiasa Keniten

 

 

            Kabut mulai menelan lembah Bedugul. Kulihat serba putih. Wajah-wajah terlihat memutih. Wajah bukit, wajah sawah di bawah, apalagi wajah pepohonan semua memutih seperti uban yang perlahan-lahan menggerogoti rambutku. Tubuhku mulai menggigil. Baju yang kupakai tak lagi kuat menahan tusukan dingin.

            Beberapa temanku yang kuajak hari itu mengabadikan keindahan kabut Bedugul. Tanah mendingin. Mentari seakan tak suka menyapa. Rumput-rumput membisu. Rasa bersyukur kuucapkan, sawah masih menyimpan bulir-bulir padi.  Lelakut menunggui sawah. Kesetiaannya menjaga bulir-bulir padi agar tak termakan burung.

            Satu dua orang menuruni tebing. Petani menengok bulir padinya. Ia pandangi wajah tanah Bali. Ia hirup wangi tanah Bali. Ia merasa berhutang pada tanah Bali. Tanah yang memberinya kenikmatan selama ini. Kenikmatan terkadang melupakan diri untuk berterima kasih. Aku bersyukur masih ada sisa-sisa tanah Bali. Beberapa bukit di Bali sudah tak lagi bertuan pemiliknya. Ia telah larut ke dalam buaian dolar, terlelap dalam keindahan semu.

            “Kawan kita tak usah turun pakai lip. Kita jalan kaki saja anggap sebagai olahraga saja.

            Aku mengikuti ajakannya. Kuturuni tangga selangkah demi selangkah. Gerimis kecil bersama kabut melintasi wajah kami. Lumut-lumut hijau menempel di jalan setapak. “Ternyata Bali masih punya tempat dingin juga,” bisiknya.

            Aku tahu arah pembicaraannya. Ia ingin mengatakan bahwa Bali sudah tergerogoti dengan beton-beton yang mengurangi penyerapan air. Air adalah hidup. Manusia tanpa air, matilah ia. Alam tanpa air tanduslah ia. Itu sama dengan kematian semakin mendekat. Hotel-hotel leluasa menggunakan air, padahal ia tak menjadi anggota subak. Air subak semakin  menjauh.

            Hotel-hotel menghiasi lereng. Lereng-lereng telah berubah wajah. Wajah menyeramkan, wajah menakutkan tersulap oleh dolar. “Inilah Bali. Tanahnya selalu memberi aroma keindahan. Tempat ini kuyakin tak seperti ini. Pasti dipandang sebagai tempat angker.” Temanku menggerutu sambil melihat kanan-kiri.

            “Bisa juga,” jawabku. Bali telah menelan perubahan hingga perutnya penuh perubahan. Ia tak bisa melangkah seperti kelahirannya. Tanahnya pun sudah beraroma dolar. Lihatlah di lereng sana. Hampir tak ada lereng yang sepi.”

“Turis ternyata lebih suka pada tempat yang memberikan tantangan baginya. Inilah hidup. Kemanjaannya dilayani  manusia Bali. Makanan, minuman, dan segala tetek bengek dilayani oleh manusia Bali. Pelayan di tanah sendiri. Jika tak jadi pelayan mau jadi bos, mana mungkin? Kekalahan demi kekalahan memburu manusia Bali. Ia bukan lagi menjadi tuannya. Jauh dari tanah kelahirannya.”

“Sudahlah jangan terus mengugat. Jika tidak menjadi jongos, terus mau makan apa?”

Ia tersenyum sinis. “Dulu tetua kita bisa hidup. Malu jika tanahnya dijual. Tapi sekarang mana ada seperti itu. Tanah Bali sudah tertelan dengan keegoaan manusianya juga.”

“Sudahlah. Karena kau tak punya tanah. Jika punya, bisa beda. Inilah jalan yang harus ditempuh oleh Bali. Ia tak mampu menjadi tuan di negerinya sendiri. Negeri berwajah buram.”

Kami menuruni tangga yang menuju tempat penginapan. Sekat-sekat kamar membatasi ruang gerak kami. Ruang memberi batas pada kehidupan. Tak saling kenal dengan tetangga sebelah. Tak saling sapa dengan orang sebelah. Dunia dekat, tetapi jauh.

Lumut-lumut yang menempel kuperhatikan. Ia masih setia pada kehidupannya. memberi warna hijau, memberi setitik air yang tersimpan di tubuhnya. Dan aku sendiri tanpa sadar sudah menginjaknya. Aku membayangkan mungkin ia juga sakit karena kuinjak. Kegeramannya kurasakan.

Teman sekamarku menuju ruang depan. Ia hidupkan rokok kesukaannya. Ia hembuskan sambil melihat liuk-liuk asapnya. Ternyata ia masih menghormati keberadaanku yang tak tahan dengan asap rokok. Telah satu batang rokok ia habiskan. Ia memanggil diriku. “Rokokku sudah habis. Ke sini!”

Baunya masih kurasakan. Kutahan napasku sambil sesekali melihat pandangan ke depan. Ia tersenyum melihat kedunguanku. “ Orang sepertimu cocoknya hidup seperti itu.” Ia menunjuk petani yang menyusuri pematang. Aku hanya cengar-cengir saja.

“Kenapa?”

“Ya karena kamu selalu saja membicarakan tentang tanah. Padahal, kau sendiri tak punya tanah. Agar kau terbiasa bergelut dengan,  sebaiknya menjadi makelar tanah saja. Masak lumut yang menempel kau perhatikan terus-menurus. Kalau bukan orang setengah waras tak mungkin sepertimu.”

Aku tertawa mendengar ceritanya. Kupikir benar juga yang dikatakannya. ‘”Tampaknya kau perhatian terhadap sikapku?”

“Bukan hanya perhatian, tapi juga merasakan keanehan.”

“Dasar kau.”

Ia bangkit dari tempat duduknya. Ia menghidupkan televisi. Ia tak suka berita-berita yang berat-berat. Ia cari filem kartun. Ia bisa tertawa. “Lihatlah filem kartun dulu. Tak usah mikir yang nyelimet-nyelimet. Yang berat-berat tak cocok buat kita. Biar bapak-bapak yang di atas memikirkan. Kita hanya menjalankan tugas yang kita pilih.  Jangan kerja di luar batas kita.”

Aku merasakan kesantaiannya dalam hidup. Tak ada yang berat baginya. “Hidup sudah berat. Jangan ikut memberatinya lagi. Ayo ke sini. Ini filem kartun yang lucu. Hadapi hidup dengan kelucuan-kelucuan hingga kau bisa menertawakan dirimu sendiri.”

Kudekati dan kutepuk pundaknya saat ia duduk di kursi sampil mengoyang-goyangkan kakinya seperti seorang bos yang lagi dapat proyek baru. Matanya tak berbalik pada filem anak-anak itu ada kenikmatan kembali ke dunia anak yang ceria tanpa beban.

“Itu lihat! Film kartun saja bisa tersenyum, kenapa kau berpikir terlalu nyelimet? Hadapi kenyataan, bukan lari dari kenyataan. Ini sudah garis hidup tanah Bali.”

Kia tak pernah ambil pusing dengan segala beban hidup. Semua dilakoninya enteng-enteng saja. Tapi kenapa aku seperti ditumpuki beragam beban dalam kehidupan. Kenapa aku seolah-olah menjadi pahlawan yang peduli dengan tanah bali. Padahal, aku tak mendapatkan apapun dari kegusaranku. Hidupku juga tak beranjak banyak, sedangkan yang menjual tanah Bali hidupnya lumayan mapan.

Tidurlah dulu. Nikmati yang kau terima hari ini. Jika berpikir terlalu,  jangan-jangan kau mati duluan. Ingat istri dan anakmu. Ia masih butuh perhatian darimu. Terlalu banyak memikirkan orang lain, hidupmu sendiri tak pernah kau pikrkan. Orang lain belum tentu memikirkan dirimu. Pernah kau menanyakan pada istrimu. Apakah uang bulanan yang kau berikan itu cukup? Apa pernah kau menanyakan pada anakmu. Apakah ia perlu rekreasi?”

Aku tak bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan temanku. “Alam akan menjawab segala tindakan tentang Bali. Bali itu tanah suci. Lihat setiap hari ia dipuja. Setiap hari, banten-banten ditujukan padanya. Hukum akan berlaku. Tidur saja dulu. Besok ada tugas yang perlu kita lakukan. Itu lebih penting daripada memikirkan tentang tanah Bali. Coba aku tanya. Apa kau sudah buat laporan? Pasti belum. Aku sudah. Makanya jangan sok jadi pahlawan.

Kurebahkan tubuhku di kasur hotel. Mataku tak bisa tertidur lelap. Pikiranku melayang entah ke mana. Kulihat ribuan makhluk halus meminta tempat tinggal. Ia merasa terusik. Lereng-lereng bukit sebagai tempat tinggalnya sudah tak ada lagi. Matanya memerah. Mulutnya mengeram. Tanganku dipegang kanan kiri. Kulihat tubuhku terpisah. Ia belum puas. Ia lemparkan tubuhku ke atas bukit. Aku menjerit.

“Bangun-bangun!”  Ia tersenyum melihatku. (PE)


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar