Puisi-puisi Wikana Seraya

  • By Wikana Seraya
  • 12 Januari 2020
Foto: Tut Sugi

Ranting Tua

 

Bertahun lamanya telah tercipta rupamu

Di sudut kering kau bermekar

dalam panas yang membakar

Kau mengembang di urat bebatuan

Pula dalam jengkal guratan tak bertuan

 

Kau larikan cerita buta di ladang tua

Untuk dia yang tercipta

Kau goreskan luka untukmu, bukan dia

Payung jemarimu meneduhi dia yang letih

Oleh panas dan terik membuih

 

Angin berdendang

Dengan lagu sendu dan pilu

Menusuk mencabik dalam lubukmu

Dengan dendangan nada tak peduli

 

Kini, kau begitu rapuh

Retak berkutu

Pula menggerutu

Dalam sepi sunyi kau bernyanyi

Menyisakan sisa dalam puasa

 

Bidang kekarmu mengklisut tak berbalut

Sendimu yang kini telah rapuh

Menjatuhkan jemarimu

Gugur, oleh tuamu.

 

 

Harapan dalam Medan Abu-abu

 

Kini aku harus berjalan

Melangkah dalam abu-abunya medan

Membawa titipan ayah bunda

Mengejar matahari di ufuk barat

Sebelum terbenam,

Sebelum tenggelam,

Harus aku genggam!

 

Sebelum malam menyapa dengan cerita kelam

Sebelum aku buta dalam gelapnya gulita

Harus aku kejar…

Dengan darahku yang merah segar

 

Aku telah diberi bekal

Bekal yang begitu kekal

Oleh Ayahku

Pula oleh Ibuku

 

Bekal itu keringat ayahku

Bekal itu air mata ibuku

Saat aku haus, kan ku minum keringat itu

Saat aku lelah, kan ku minum air mata itu

 

Kutelusuri jalan abu-abu itu

Dengan medan yang tak pasti aku tahu

Dengan ceritamu yang tersurat penuh liku

dan laku yang harus aku mainkan

Menjadi pengharap dalam cerita

Mencari arah, yang mesti aku jarah

 

Abu-abu,

Tetap kucoba mendekat walau sunyi pekat

Meraba yang belum kulihat

Apakah kan aku dapat?

 

Tekadku kuat!

Melangkah dalam pekat

Yang tak tentu

Dalam cerita semu

Meski....

Tak tentu aku dapat

 

 

Rindu yang Dulu

 

 

Nadimu kini melemah dalam lelah

Lama kau menjelajah

menjamah para petuah

Yang kini memudar memutar arah

 

Di kejauhan terdengar bisikan

Mengetuk jantung dalam denyut yang pudar

Meraung dalam nada sunyi, yang hampir mati suri

 

Dahanmu melambai dalam lorong kosong

Tersisih oleh nada kebohongan

Terkikis dalam lukis kesombongan

 

Desaku

Tembangmu meredup dalam sunyi

Seruling tua tak lagi bernada cinta

Embun pagi telah mengering terkikis

Lemah tak terjamah

 

Dalam dasar palung sarafku

Menjalar darah

Merekah nadi ingatanku

Yang rindu, akan yang dulu.

 

 

Wanita Malam

 

Kau nyanyikan nada-nada sunyi dalam sepi

Kau menari dalam kelana para pemimpi

Ketika tirai bola mata tertutup rapi

Ketika ruang dan waktu

Para pengembala menepikan sejenak kembala jiwanya

Kau terbangun

 

Kau nyanyikan irama-irama manis pemikat

Kau tebar senyum malam, yang sejatinya kelam

Kau tabur benih-benih itu hanya untuk menghibur

Siapa yang kau hibur?

Untukmu

 

Kau berjalan dalam dunia malam

Mengarungi gelap dalam ketidak pastian

Tak pernah kau beri ruang

Mimpi yang sejatinya datang membawa kabar

Mimpi yang akan mengubah jubah hidupmu

 

Kau tak pernah bermimpi

Tapi kau adalah pemimpi

 

Kau kejar pengagummu di keramaian malam

Kau tebar beban di kepalamu untuk ditawar

Kau sodorkan, kau jajakan

Pada mereka yang membawa uang

 

Kau bukan wanita jalang

Dan pula penjual diri, untuk setumpuk uang

Kau wanita petualang

Yang datang bukan menggoda hidung belang

 

Kulitmu telah keriput dan lusuh

Sendi-sendimu pun terlihat telah rapuh

Adakah penggoda yang akan menggodamu?

 

Tidak!

Hanya untuk mereka

Mereka yang telah kau patri di tangan dan kakimu

Mereka yang selalu menunggu buah tanganmu

Saat beban itu berat, patri tanganmu berkata “demi aku, ibu”

Saat kakimu tertatih, patri kakimu mengucap “jangan lelah melangkah, istriku”

 

Wanita malam…

Kau bukan penggoda

Kau adalah pekerja

Untuk mereka.


TAGS :

Wikana Seraya

Menulis puisi dan cerpen, pengajar bahasa daerah Bali di SMKN 1 Amlapura.

Komentar