Nominasi Rancage Sastra Bali 2020

  • By I Nyoman Dharma Putra
  • 31 Januari 2020
Yayasan Sastra Rancage

Buku sastra Bali modern (SBM) yang terbit tahun 2019 berjumlah 13 judul, meningkat empat judul dibandingkan tahun sebelumnya (2018) yang mencapai 9 judul. Di luar buku tersebut, karya SBM juga terbit di surat kabar edisi Minggu, berupa puisi dan cerita pendek. Selain itu, SBM juga terbit dalam majalah berbahasa Bali Suara Saking Bali (Suara dari Bali), terbit secara daring (online: https://www.suarasakingbali.com/). Penulis-penulis yang baru muncul mendapatkan ruang publikasi di media-media ini sebelum kelak memiliki antologi sendiri yang akan mewarnai perkembangan SBM ke depan.

Sampai Januari 2020, majalah bulanan Suara Saking Bali sudah terbit 39 edisi, dikelola oleh IDK Raka Kusuma dan para penulis yang sebagian besar pernah menerima hadiah sastra Rancage. Majalah ini memuat cerita pendek, puisi, esai dan bentuk tulisan lain dalam bahasa Bali. Selain karya-karya baru, majalah ini juga memilih secara selektif karya-karya lama yang baik. Kehadiran majalah Suara Saking Bali menjadi salah satu media penting untuk pengarang SBM mempublikasikan karya, dan membuat SBM dapat dijangkau peminatnya dengan gratis.

Dari tiga belas karya yang terbit tahun 2019, terdapat satu novelet berjudul Tresna tuara Teked (Kasih tak Sampai) karya Ida Bagus Pawanasuta. Terdapat delapan kumpulan cerpen, satu berupa cerpen terjemahan dari bahasa Indonesia ke bahasa Bali berjudul Meme Mokoh (Ibu Mokoh) karya Putu Oka Sukanta (diterjemahkan oleh IDK Raka Kusuma dan I Putu Supartika); satu buku kumpulan cerpen bersama Nyujuh Langit Duur Bukit (Menggapai Langit di Atas Bukit) berisi cerpen karya 22 cerpenis, semula cerpen dimuat di majalah Suara Saking Bali; sisanya enam antologi cerpen adalah karya individu. Dari 13 buku, terdapat empat antologi puisi, satu buku hasil karya penulis se-Kabupaten Bangli berjudul Puspanjali (Bunga Persembahan) dan tiga lainnya adalah karya penyair tunggal.

Tiga judul buku yang masing-masing merupakan antologi puisi bersama, antologi cerpen, dan cerpen terjemahan tidak diikutkan dalam nominasi ini.

Dari tiga antologi puisi yang dinilai, terdapat satu antologi puisi naratif, sedangkan yang dua lainnya adalah kreasi puisi seperti umumnya puisi. Ketiga antologi puisi tersebut adalah Adi Bulan (Adik Bulan) kumpulan puisi I Putu Wahyu Santosa; Ulun Danu kumpulan puisi karya Erkaja Pamungsu (IK Eriadi Eriana), dan Kamerad Leningrad puisi naratif IDK Raka Kusuma.

Antologi puisi Adi Bulan berisi 44 puisi yang secara umum bertema romantisme alam, budaya, nasehat, tempat, dan kesetiaan heroik. Puisi bertema romantisme alam melukiskan keindahan alam atau suasana yang bernada kesetiaan yang heroik. Sajak yang mengandung tema heroisme dan kesetiaan bisa disimak dalam sajak “masatya Bhakti” (Setia Berbhakti). Yang menarik adalah banyak sajak yang ditulis dengan pola repetisi setiap frase di awal bait, seperti sajak ‘ Basa Sunia’ (Bahasa Sepi), yang terdiri dari tiga bait, dan ketiganya diawali dengan ungkapan ‘ apeke sujatine sunia’ (apakah sejatinya sepi), ungkapan repetitif untuk keindahan dan pendalaman pertanyaan yang membayangkan bahwa jawabannya banyak. Sementara itu, sajak ‘ Adi Bulan’ yang menjadi judul antologi ini mengungkapkan puja-puji penyairnya kepada keanggunan bulan dan bintang yang senantiasa memperindah malam. Sajak ini, seperti juga saja-sajak lainnya, berusaha untuk membuat bunyi suku kata terakhir setiap barus berirama.

Antologi puisi Ulun Danau (Hulu Danau) karya Erkaja Pamungsu berisi 104 puisi, dengan berbagai tema seperti keindahan alam, spiritualitas, kritik sosial mengenai berita bohong (hoax). Sesuai judul antologi ini, ada tujuh puisi berjudul ‘Ulun Danu’ dan sebelas sajak berjudul ‘Batur’ masing-masing dengan nomor seri. Mirip dengan antologi puisi Adi Bulan,

 

sajak-sajak dalam antologi ini pun menggunakan pola repetisi, bahkan lebih panjang dan intensif, seperti terlihat dalam sajak ‘Yeh’ (Air) yang terdiri dari sembilan bait, berarti sembilan ungkapan ‘yeh’ dipakai membuka setiap bait. Ulun Danu mengacu pada Danau Batur di daerah Kintamani, tempat indah sejuk berwisata dengan panorama Gunung Batur, kaldera batur, dan danau Batur. Sajak ‘Yeh’ tampil sebagai representasi dari judul karena Batur adalah sumber utama air di Bali.

Di antara tiga antologi puisi, antologi Kamerad Leningrad karya IDK Raka Kusuma tampil menarik karena ditulis dengan tenik naratif. Antologi ini terdiri dari dua puisi panjang; puisi pertama berjudul “Mei Hwa” (tertuang dalam 30 halaman) dan yang kedua “Kamerad Leningrad” (tertuang dalam 70 halaman). Intisari dari antologi puisi ini bisa disimak dari halaman dedikasi buku yang berbunyi: katur ring tumbal Reformasi (Dipersembahkan kepada tumbal Reformasi); Katur ring tumbal Ideologi (Dipersembahkan kepada tumbal Ideologi). Dalam puisi pertama, narator mengisahkan peristiwa reformasi dan nasib tragis yang dialami Mei Wah, yang akhirnya bunuh diri dengan menembak diri. Antologi ini memberikan kontribusi pada genre baru sastra Bali modern, melukiskan peristiwa politik 1965 dan reformasi 1998, dengan bahasa yang indah, narasi yang padat berisi lewat nama tokoh yang khas (Mei Wah orang keturunan Tiongkok dan Kamerad Leningrad berasosiasi kuat dengan nama Rusia, negeri komunis). Hanya saja dari segi substansi, isi kedua puisi naratif ini merupakan pengungkapan dari pengetahuan umum dalam wacana publik mengenai peristiwa 1965 and 1998 tanpa kebaruan.

Enam antologi cerpen SBM tampil dengan berbagai kelebihan dan keterbatasannya, namun pada umumnya mengangkat tema kehidupan sehari-hari sehingga banyak yagn tampak sebagai sketsa kehidupan yang kurang menampakan struktur ‘cerita” seolah ‘berita’. Cerpen Ngipiang Jokowi (Memimpikan Jokowi) karya I Made Sugianto mendapat inspirasi dari kisah nyata menjelang dan pad saat Presiden Jokowi berkunjung ke desa asal penulisnya. Selain sebagai penulis sastra dan pengelola penerbit Pustaka Ekspresi, Made Sugianto juga menjadi kepala desa yang daerahnya dikunjungi Presiden Jokowi. Cerpen ini dan cerpen lainnya yang semuanya berjumlah 13 judul menjadi semacam sketsa yang, seperti ditulis Ketut Sugiartha dalam ‘kata pengantar’, bertolak dari peristiwa nyata yang pernah dihadapi penulis (‘sane naen kaarepin antuk pengawi’, hlm. vi). Yang menarik dari karya-karya Made Sugianto adalah pemakaian peribahasa Bali seperti ‘tresnane mabatun buluan’ (cintaku satu, sama dengan biji rambutan), yang membuat cerpen enak dibaca dan ungkapan itu serasa disegarkan kembali.

Penggunaan ungkapan peribahasa Bali yang lebih kuat dari itu terasa dalam cerpen Aud Kelor (Habis Kikis) karya Carma Citrawati. Antologi cerpen yang berisi 13 certia ini mengandung banyak ungkapan peribahasa. Bahkan, judulnya sendiri adalah ungkapan perumpamaan. Banyak judul cerpen menggunakan bladbadan, salah satu jenis peribahasa Bali, seperti gamongan kladi jae (omonmgan bsia dibuat-buat) dan maberuk tanah (carat, nyaratang, ‘sangat berharap’). Yang menarik dalam cerpen-cerpen di sini jika dikaitkan dengan judulnya adalah bahwa kata ‘kelor’ menjadi nama tokoh Kelor yang muncul di hampir semua cerita, ada I Kelor sebagai suami, I Kelor sebagai pembaca lontar, I Kelor sebagai kontraktor (hlm 59), dan seterusnya. Kecuali nama sama untuk mendukugn judul antologi, tidak ada hubungan antara tokoh Kelor yang satu dengan Kelor yang lain. Tema cerita kebanyakan bertolak dari sistem kepercayaan orang Bali dan hal itu dilihat dari konteks logika modern. Misalnya, kisah sorga dan neraka yang menjadi tempat bagi orang sesudah meninggal sesuai hukum karma. Tentu saja perdebatan topik demikian sudah lumrah di masyarakat. Memang secara keseluruhan, antologi ini menunjukkan kreativitas penulis dalam memilih cerita, tema,

 

menyusun alur, penggunaan ungkapan yang begitu khas dalam cerita ini. Namun, dalam hal pesan atau amanat cerita, terasa masih merupakan pengulangan tanpa pendalaman.

Antologi cerpen Ngerebutin Abu (Memperebutkan Abu) karya I Nyoman Agus Sudipta berisi 11 cerita secara umum tampil dengan tema-tema sosial, hal-hal gaib, dan pengalaman personal simbolik. Tema-tema menarik ini dituangkan dalam narasi realis dan atau dengan teknik arus kesadaran bawah. Hampir semua cerita memiliki ending yang tragis. Cerita “Ngerebutin Abu” yang menjadi judul antologi ini mengisahkan perselisihan kakak-adik tentang kremasi almarhum ayahnya. Karena perselisihan itu, tak satu pun ada yang mau mengurus, akhirnya yang mengurus adalah ibunya seorang diri. Ketika rangkaian terakhir kremasi, tak ada satu pun dari anak dan cucu mereka hadir, sehingga ketika pembakaran ‘raga-simbolik’ almarhum yang dilakukan tengah malam sesuai tradisi, api membesar dan membakar rumah dan sang ibu. Logika cerita tidak terungkap eksplisit di akhir, tetapi inilah ending yang tragis yang terjadi akibat perselisihan keluarga dalam mengupacarai almarhum. Cerita ini memiliki konflik dan alur yang kuat. Hanya saja, cerita-cerita lain dalam antologi ini tidak sekuat cerita yang satu ini. Cerita “Ngambar Peteng” (Melukis Malam), misalnya, mengisahkan memori pribadi dengan teknik arus kesadaran bawah dengan ending cerita yang tergesa.

Kumpulan cerpen Pasisi Sanur (Pantai Sanur) karya IBW Widiasa Keniten berisi dua belas cerita sebagian besar mengambil tema tentang kegaiban. Cerpen “Pasisi Sanur” melukiskan sisi gaib dari Sanur yang menjadi salah satu tempat untuk belajar leak atau black magic, karena di sini ada apa yang diturukan sebagai raja leak (hlm. 60). Ini adalah citra asli Sanur, sebelum daerah ini menjadi daerah tujuan wisata yang terkenal. Kisah leak ini diluskiskan dengan teknik halusinasi dengan membawa tokoh cerita ke alam lain, dan cerita berakhir. Kisah kegaiban lain juga menjadi tema cerpen “Dadong Bingin” (Nenek Beringin) dilukiskan sebagai manusia yang bisa muncul dan hilang, seolah orang sakti. Disajikan dalam gaya bahasa yang lugas, segar, inovatif, cerpen-cerpen dalam kumpulan ini menunjukkan penulisnya memiliki banyak sumber cerita hanya saja dalam ksiah-kisah yang terlalu singkat (rata-rata 4,5 halaman) banyak cerita berakhir tanpa pendalaman.

Kumpulan cerpen Ling (Tangis) karya I Komang Alit Juliartha berisi 11 cerita, pada umumnya melukiskan cerita-cerita ringan tetapi menarik yang terjadi dalam konteks lingkungan keluarga, seperti konflik mertua-menantu dan kaish tak sampai. Cerpen “Ling” yang menjadi judul antologi ini melukiskan tokoh wanita seorang istri dengan satu anak yang meninggal gantung­diri karena merasa selalu dipojokkan oleh mertua perempuannya. Sesudah kematian itu, semua sedih dan nge-ling (menangis), bahkan anjing pun seolah ikut merasakan kesedihan seisi rumah. Cerita lain yang bertema duka cinta karena kasih tak sampai adalah “Ane Alihin Tiang” (Yang Kucari) mengisahkan pemuda mencari pacarnya ke berbagai tempat, sampai tujuh tahun gagal. Pacarnya menghilang karena sedih sesudah diperkosa oleh atasannya. Kisah-kisah ringan dalam antologi ini enak dibaca dengan pesan-pesan kehidupan yang biasa beredar di sekitar kita, seperti pentingnya keakuran antara menantu dan mertua untuk kebahagaian keluarga.

Kumpulan cerpen Bali Plastik? Karya Ni Nyoman Ayu Suciartini memuat enam cerita, jumlah yang relatif kecil dibandingkan dengan antologi di atas atau pada umumnya. Lagipula, cerpen­cerpen di sini juga sangat pendek. Karakteristik lain dari cerpen-cerpen dalam antologi ini adalah semua cerpen dimaksudkan sebagai propaganda anti-plastik, fenomena perang sampah plastik yang aktual dewasa ini. Alur cerita tidak begitu tampak dipentingkan, yang lebih menonjol adalah ungkapan-ungkapan untuk membuat pembaca mengurai atau menghentikan

 

penggunaan plastik (tas kresek), menghormati peraturan pemerintah tentang larangan penggunaan plastik, menjaga lingkungan, atau menjadikan plastik sebagai sumber karya seni. Tingginya niat untuk memprioritaskan pesan membuat cerita tampil seperti sketsa ide atau esai, dan itu sudah mulai terasa dari judul antologi “Bali Plastik” atau judul cerpen “Pulau Plastik?”. Ada cerita yang dilengkapi data angka-angka tentang volume sampah sehingga membuat karakter cerita sebagai fiksi menjadi kedodoran.

Satu-satunya novelet SBM yang terbit tahun 2019 berjudul Tresna tuara Teked (Kasih tak Sampai) karya Ida Bagus Pawanasuta. Karya setebal 78 halaman ini menuturkan kisah kasih tak sampai dua pasang pemuda karena dua alasan berbeda. Yang pertama adalah percintaan antara I Duduk dengan Luh Kinanti yang tidak bersambung karena dipisahkan oleh pendidikan dan karier berbeda kota. Duduk adalah seorang seniman alam yang sangat berbakat yang mendapat pekerjaan sebagai dosen di Amerika dan menikah dengan orang di sana, sedangkan Kinanti melanjutkan kuliah di Australia dan akhirnya bekerja serta menikah di sana. Kedua, kisah kasih tak sampai antara I Made Bungarta dengan Luh Cempaka gagal karena campur tangan negatif kekuatan guna-guna (black magic). Ayah Bungarta hendak memasang guna­guna pada Cempaka agar mau kasih pada Bungarta, tetapi langkah itu gagal dan justru black magic itu akhirnya menyakiti ayah Bungarta, sedangkan Luh Cempaka yang imun dari serangan black magic akhirnya menjadi dukun sakti. Hanya Cempaka-lah yang akhirnya mampu mengobati ayah Bungarta. Sebelum itu, Cempaka sempat jatuh cinta pada Duduk, tetapi kalah pesona dengan Kinanti. Kisah hidup Duduk (bahasa Bali ‘duduk’artinya pungut) cukup misterius tetapi sebagai tokoh utama atau hero dalam novelet ini, sejak awal dia memiliki kehebatan, muali dari sebagai seniman serba bisa, mendapat anugerah kekuatan gaib di kuburan, dan selalu berhasil mengalahkan serangaan black magic terhadapnya. Selain itu semua, dia juga tampan, dan menjadi rebutan beberapa perempuan.

Novelet ini ditulis dengan bahasa yang lugas, kalimat ringkas, namun dapat mengekspresikan berbagai perasaan (cinta, culas, iri hati, sombong) dengan baik dan dalam. Alur cerita mengalir jelas diwarnai konflik dan tegangan di setiap bagian sehingga cerita memikat. Narasi cerita berhasil menyajikan latar budaya Bali yang kaya akan jenis seni pertunjukan. Kekhasan latar dalam novelet itu terungkap lewat berbagai isu black magic dan kekuatan gaib yang menjadi bagian dominan dalam sistem kepercayaan dan kehidupan sosial masyarakat Bali. Ending cerita terlalu cepat karena kurang eksplorasi tetapi sensible (masuk akal) karena merefleksikan apa yang terjadi dalam alam nyata, di mana seniman Bali karena bakatnya bisa mendapat pekerjaan sebagai dosen seni di luar negeri walaupun tujuan awal mereka berkesenian bukanlah itu. Pendek kata, novelet ini berhasil menampilkan gambaran masyarakat Bali yang kehidupannya kuat dipengaruhi oleh praktik kesenian dan kepercayaan kekuatan gaib agtau supranatural.

Berdasarkan penelahaan terhadap karya sastra Bali modern di atas, maka diputuskan penerima Hadiah Rancagé tahun 2020 untuk karya sastra Bali adalah

Tresna tuara Teked (Kasih tak Sampai) Karya Ida Bagus Pawanasuta

Penerbit Pustaka Ekspresi


TAGS :

I Nyoman Dharma Putra

Lecturer di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Komentar