Arok

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 02 Februari 2020
Ilustrasi: Pixabay

Setiap kutanyakan kenapa ramalan Jayabaya dan Sabdapalon amat disegani? Orang-orang yang kudatangi dan kutanyai tidak ada yang memberikan jawaban yang pasti. “Yang jelas itu ramalan. Ramalan itu tidak ada yang pasti. Yang pasti itu hanya Tuhan.” Aku menjadi tidak mengerti akan maksud orang-orang yang kuanggap paham tentang jalan kehidupan. Akan tetapi, ada yang selalu kuingat bahwa setiap manusia memiliki ramalannya sendiri. Termasuk aku. Aku pernah diramal akan menjadi orang besar sekelas Ken Arok. Raja yang menurut Pararaton itu anak dari Dewa Brahma. Aku merasa berbesar hati. Artinya, aku harus mempersiapkan diri sedari awal.

            Kubaca-baca kisah hidup Ken Arok. Ia seorang begal, seorang pencuri seorang pembunuh dan pengambil istri orang. Ingin kuikuti jejak Ken Arok. Pengalaman adalah guru yang terbaik meskipun pengalaman itu hanya kubaca dalam kisah Ken Arok.

            Mulailah aku menjadi Ken Arok kecil-kecilan. Aku mulai belajar mencuri yang bahasa kerennya korupsi kecil-kecilan. Kuyakin saat Ken Arok hidup belum dikenal istilah itu. Paling-paling yang dikenal kata maling. Ah, untuk apa memperdebatkan istilah itu. Yang penting kuikuti jejak Ken Arok. Aku belajar  menjadi maling kelas teri terlebih dulu setelah itu kelas kakap, nanti kalau sudah terbiasa yang kelas buaya. Itu langkah awalku memulai ramalan yang pernah diberikan untukku.

            Kuambil barang-barang tetangga. Mulai dari sabun mandi, lalu handuk, lalu jemuran lalu beras, lalu dan terus lalu-lalu hingga aku terbiasa menyolong milik orang lain. Aku mulai melebarkan sayap kuajari kelompokku. Biasa kalau kelas maling dekatnya pasti sama maling. Kalau kelas orang suci dekatnya pasti sama orang suci. Ada aksi ada reaksi. Itu kupikir. Jadilah aku raja maling. Tidak ada yang berani melawanku lebih-lebih setelah aku berani memaling yang ada di sebuah kantor. Aku semakin disegani oleh kelompokku. Kelompok maling. Aku berbangga menjadi maling karena cita-citaku pasti bisa terwujud karena kisah Ken Arok saja dari maling.

            Seiring perjalanan waktu, aku tokoh maling. Kesempatan yang baik ini kumanfaatkan dengan sebaik-baikknya dan seefektif-efektifnya. Karena aku punya kuasa, apapun yang kuperintahkan akan diikuti. Sengaja kubuatkan semacam paguyuban maling. Jika berkumpul, tidak ada yang tahu bahwa itu adalah peguyuban maling karena semuanya pintar memainkan muka. Muka amat menentukan harus bisa bermuka manis saat orang memberikan pengarahan. Pura-puralah begitu maksudku. Itu akan amat menguntungkan karena tidak diketahui bahwa di sekitarnya ada maling berseliweran.

            Kukatakan akan maju dalam pilkada tahun ini. Semua kelompokku mendukung karena aku sudah kaya setelah menjadi raja maling. Tak pernah takut ditangkap. Untuk apa takut? Karena aku pintar bermain peran, sandiwaralah sedikit. Berlaku santun dan sebagainya. Aku pun mempersiapkan segala keperluan dan persyaratan yang telah ditentukan. Teman-teman sesama maling membantuku tanpa pamerih karena ia sudah tahu. Kalau aku menjadi penguasa, pastilah ia akan mendapatkan peluang untuk memeras. Aku sudah tahu itu. Raja maling tak mau dikalahkan kalau soal mengakali orang lain.

            “Sudah siap semuanya, Komandan.”

            Ia memanggilku komandan. Komandan maling. Tidak masalah. Yang penting aku sudah mulai disegani di masyarakat maling tak usah dipikirkan masa laluku. Itu hanya aku yang tahu. Orang lain untuk apa tahu? Kelompok kami bekerja super ekstra karena ia berharap banyak padaku. Aku dikatakan sudah dimasuki ruh Ken Arok. Aku sudah kelihatan tanda-tanda akan menjadi orang besar. Tanpa kuketahui, kelompokku sudah mencari peramal ulung yang bisa menentukan nasib seseorang. Teman-temanku merapat mulai dari maling kelas ringan sampai kelas berat. Ia mendesakku agar ikut bertarung dalam pilkada.

            “Baiklah! Aku menyetujuinya.

“Pasti menang dan yakin menang. Baliho sudah kupasang di setiap jalan, pertigaan, perempatan, simpang lima, simpang enam, sampai tanpa simpangan pun sudah kupenuhi dengan baliho. Wajahmu sudah memperlihatkan gigimu yang putih tajam dan siap untuk menerkam,” kata teman-temanku.

            “Terima kasih,” balasku.

            “Tak usah memikirkan biaya baliho. Gratis. Akan tercatat dalam sejarah bahwa tidak hanya Ken Arok menjadi raja dari latar belakang maling. Kita pun bisa menjadi Ken Arok- ken Arok generasi baru.”

            Aku manggut-manggut mendengarkan semangat anak-anak asuhku. Ia sudah terbiasa memegal, memeras, maupun menggertak. Apapun namanya yang berbau maling. Uang-uang yang kumiliki sengaja kuberikan secara cuma-cuma kepada pendukungku. Dengan tertawa renyah, diterima. Siapa yang tidak silau dengan uang? Dengan uang, yang putih menjadi hitam, yang hitam menjadi abu-abu. Itulah hebatnya uang dan keuntungan bagiku.

            Selebaran dan kampanye kecil-kecilan sudah dijalankan. Aku terus melakukan sowan ke tokoh-tokoh lain. Kepala desa, kepala lingkungan kudekati dengan memberi sedikit uang lelah. Timku yang kerja siang malam. Tim yang benar-benar solid karena sudah terlatih sedari awal. Kalau maling tak punya cara kerja yang bagus susah akan berhasil. Setiap langkah harus diperhitungkan. Salah melangkah bisa nyawa melayang, bisa polisi menciduk. Aku sudah wanti-wanti agar tetap waspada. “Lawan kita cukup kuat. Ia sudah dikenal di mana-mana,” kataku.

            “Tetapi Komandan.”

            “Tetapi apa?”

            “Pengalamannya belum optimal,“ kata pendukungku yang paling sering kuajak mencari suara. “Kita sudah terbiasa memasang strategi. Kalau lawan Komandan, baru memulai. Kita mulai dari observasi tempat sampai eksekusi pencurian sudah kita perhitungkan. Strategi perang ia kalah. Kita sudah malang melintang soal itu. Yakinlah sudah ada pendukung kuat di belakang Komandan. Jika yang kita bantu main-main, segala uang akan diambil kembali. Untuk apa menerima uang kalau tidak memilih? Hatinya sudah dibutakan oleh uang. Racun terberat sekarang ini bernama uang. Bukan cetik Gringsing lagi. Itu zaman tidak enak. Benar kan?”

Ia bagikan uang-uangku. Aku cukup duduk-duduk saja sambil menikmati kopi. Alas kopiku memang khusus. Ia perlakukan diriku seperti raja-raja dalam filem-filem. Ia bungkuk-bungkuk dan memanggilku, “Paduka yang mulia.” Terkadang aku geli juga. Apa muliaku? Orang aku raja maling. Orang-orang terdekatku merasakan kehadiranku. Energi Ken Arok benar-benar merasuk dalam hatiku.

            “Salam paduka Ken Arok. Kemenangan sudah di tangan Paduka. Bersiaplah menjadi raja.”

            Mataku berbinar karena kekuasaan akan bersahabat denganku.

Pemilihan berjalan amat lancar. Aku dengan mudahnya mengalahkan sainganku. Pesta kemenangan diadakan. Tanpa kuketahui, teman-temanku sudah memesan catering dari tukang masak terkenal. Ramai sekali di rumahku. Mulailah aku  menyusun strategi agar bisa mengendalikan semuanya di daerahku.

            Dari kecil akan menjadi besar. Terasering, got, gang, kuanggarkan lebih dulu. Semua got bagus. Tak ada air mampet saat hujan. Jalan kuhotmik. Tidak ada jalan berlubang di daerahku. Gedung-gedung sekolah tidak ada yang bocor. Anak-anak sekolah senang belajar. Selanjutnya rumah sakit. Selanjutnya-selanjutnya. Pokoknya lancar semuanya. Penghargaan datang silih berganti. Banyak orang luar belajar padaku. Kepalaku mulai membesar. Kerjaku sudah berhasil dan sudah terbukti. Semakin yakinlah aku bahwa ramalan tentangku menjadi kenyataan.

            Tiada hari tanpa berita tentangku. Surat kabar, medsos, dan buku-buku tentang keberhasilanku laris bak krupuk. Setiap kesempatan hanya aku yang menjadi bahan diskusi. Media televisi amat berbangga jika aku yang diwawancarai karena rating-nya menjadi naik. Aku viral di mana-mana. Pujian datang setiap detik. Kepalaku semakin dipenuhi dengan beragam ide besar.

            Kutawarkan sebuah ide agar menukar sebuah tempat menjadi desa modern. Ramailah silang debat. Setelah diberi penjelasan orang-orang yang menolak ideku menjadi ciut nyalinya. Di samping itu, kusodori sesuatu padanya. Tak ada protes lagi. Semua tradisi kuganti dengan yang modern.

            Pejabat pusat tiada henti-hentinya memuji kelebihanku. “Inilah yang dicari untuk negeri ini.”

            Aku pun sering ke tempat suci untuk menambah energi kepemimpinanku. Aku berjalan ke puncak gunung. Datang dari Pura, kantukku tak kuasa kutahan. Aku tertidur amat lelap. Lamat-lamat kudengar seperti ruh Ken Arok. Ia marah besar.

“Kau telah menyalahgunakan ruhku. Aku menjadi raja bukan karena maling. Kau menjadikanku pembenar untuk berbuat tidak benar. Sekarang rasakan!” Ia menghujamkan keris Mpu Gandring ke arahku.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar