Lelaki yang Bercita-cita Menjadi Florentino Ariza

  • By Agus Buchori
  • 10 Februari 2020
Amazon.com

Kekuatannya untuk menunggu membuat ia dikagumi semua teman-temannya. Ia sangat setia memendam rasa yang selama ini dirasakannya. Jatuh hati.

Perempuan itu telah menumbuhkan getar abadi di hatinya hanya gara-gara ia memegang buku yang sangat ia suka. Hujan di Bulan Juni sebuah antologi puisi yang menawan segala hasratnya untuk bisa menjadi penyair. Dan semua penyair baginya adalah pemuja cinta, dia nggak mau menganggap sebagai pemuja perempuan tetapi lebih suka mengaku sebagai pemuja cinta. Ini semua  dikarenakan ada juga penyair yang gay maupun lesbian.

Kala itu di sebuah lorong yang penuh dengan buku-buku sastra di sebuah perpustakaan umum di kotanya mereka saling beradu pandang. Karena begitu kuatnya sang pemilik mata bulat dengan pupil yang begitu lebar menikam balik ke pandangannya, ia tertunduk dan mengalihkan pandangannya pada apa yang sedang dibawa oleh perempuan itu. Ya, buku antologi puisi karya Sapardi Djoko Damono yang begitu melekat rima dan irama kata-katanya di benaknya.

“Maaf, apakah kamu juga suka puisi?” tanyanya singkat saat itu.

“Begitulah, seperti yang kamu lihat apa yang sedang aku bawa ini,” jawaban yang tegas dan menikam.

“Kenalkan aku, Asnur,” ia menjulurkan tangannya.

“Yusrina,“ perempuan itu menjawab singkat.

 Sejak pertemuan itu ia tak mampu lagi mengalihkan segala kata yang ia baca dari kemunculan wajah perempuan itu. Puisi-puisi yang ia baca menjelma paras rupawan perempuan berpostur bak gadis Indian. Garis wajah yang garang dan mata yang lebar. Rambut yang lurus kaku dikepang satu bak ekor kuda. Postur tegas dan sigap mengingatkannya pada sosok Pocahontas si gadis Indian dalam film animasi Disney.

Meski selama ini ia sering ke perpustakaan, tetapi kini ada hal baru yang ia lakukan di sana, bukan sekadar meminjam buku melainkan juga menunggu perempuan itu. Ia menjadi penghuni tetap meja baca di dekat rak buku-buku sastra. Terkadang ia tekun membaca dan tak jarang malah tak jadi meminjam buku yang sedang dibacanya itu karena seharian ia telah  menghabiskan membaca buku yang dipegangnya itu dalam sekali duduk di sudut itu.

Yusri tak pernah datang. Namun, Asnur tetap setia menunggu. Ia tak peduli meski tak tahu kapan waktu kedatangan Yusrina ke perpustakaan. Ia meyakini bahwa suatu saat ia pasti kembali untuk mengembalikan buku. 

Setelah dua minggu ia menunggu, di suatu sore menjelang perpustakaan tutup, tiba tiba terdengar, brukkk. Buku-buku berjatuhan dan betapa kagetnya Asnur saat itu, ia melihat Yusrina sedang panik memunguti buku yang berjatuhan itu. Ia buru-buru membantu tapi jawaban yang ia terima sungguh mengejutkan, “Aku bisa memungutinya sendiri, terima kasih.”

“Nggak papa, aku hanya membantu, tak lebih,”

Keduanya saling memunguti tanpa bersuara satu sama lain. Lengang. Asnur kembali melanjutkan bacaannya. Love in the time of Cholera, sebuah novel kisah percintaan karya Gabriel Garcia Marquez penulis dari Amerika Latin telah menawannya berhari hari.  Kisah pemuda nekad dan pemalu, Florentino Ariza yang jatuh cinta pada Fermina Daza, seorang gadis pingitan dan  putri bangsawan terpandang.

 Apa yang dilakukan oleh Ariza benar benar menginspirasi Asnur dalam soal cinta. Keteguhan Ariza dalam menunggu sambil sesekali melakukan tindakan pengecut  dengan menyurati pujaan hatinya menjadi kredo hidupnya. 

***

Hidup memang selalu ada kejutan. Ia terbiasa dengan itu. Semua yang dikejar akan lari dan semua yang dilepaskan akan datang kembali. Kejutan irama kehidupan yang biasa baginya. Ia tak pernah berencana dalam hidup ini. Baginya hidup hanya dijalani sambil siap menghadapi keadaan-keadaan yang terjadi di luar kendali.

Suatu saat, ia melihat Yusrina menjinjing Love in the time of Cholera. Segera ia mengikuti Yusrina yang sedang menuju ke petugas peminjaman. Saat itu antrian begitu panjang, maklum musim liburan sekolah.

Yusrina meletakkan buku di meja antrian, ketika ia pamit pada petugas perpustakaan karena ingin ke toilet. Mendadak Asnur dengan sekelebat kilat menuju buku yang hendak dipinjam Yusrina. Asnur menuliskan sesuatu di kertas yang sudah ia siapkan berhari-hari. Kertas itu ia selipkan di tengah halaman buku yang sedang ditinggalkan Yusrina di meja layanan perpustakaan .

Perlu kau tahu, perasaanku padamu tak lebih haru dari apa yang dilakukan Florentino Ariza pada Fermina Daza. Dan aku akan menunggumu entah sampai kapan.”   

Hari berlanjut seperti biasa.  Asnur masih terlena dengan impian-impiannya mengenai Yusrina. Ia menjadi begitu puitis. Langit langit kamarnya adalah setting percintaan antara dia dan Yusrina. Bayangan wajah Yusrina dan jawaban yang ditunggunya menjadi kesenangan yang luar biasa. Ia kasmaran dengan sebenar-benar kasmaran.  

Saat kesepian dan semangatnya hampir melemah ia akan kembali membaca Love In The Time of Cholera. Ia betul-betul menghayati cerita itu dan hampir hapal tiap dialognya. Di perpustakaan itu ia kan membayangkan setiap pengunjung wanita adalah Yusrina. Dia betul-betul terobsesi dengan gadis pujaannya.

Keranjingannya dalam membaca di perpustakaan makin menjadi-jadi, semata-mata hanya untuk berharap ada nasib baik mempertemukan dia dengan Yusrina di perpustakaan. Meski sudah hampir setahun ia tak pernah bertemu kembali, tapi perpustakaan itu seolah menjadi kekasih kedua baginya.

Ada ekstase pada diri Asnur saat ia keluar dari perpustakaan itu. Baginya, kertas yang ia selipkan waktu  itu cukup singkat untuk menyatakan cinta. Dan ia telah memutuskan untuk setia menunggu.


TAGS :

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan serta mengajar Bahasa Jawa di SMAM 6 dan MTsM 02 Pondok pesantren Karangasem Paciran Lamongan.

Saat ini   aktif di komunitas Literacy Institute yang bergerak dalam pengembangan literasi di lamongan. Bersama teman temanya di sana melakukan penerbitan buku baik sastra maupun budaya untuk menggiatkan kegiatan tulis menulis di Lamongan.

Puisinya tersebar di Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Baru baru ini bersama komunitasnya menerbitkan antologi cerpen Bocah luar Pagar , Hikayat daun Jatuh, dan antologi puisi Ini Hari sebuah Mesjid Tumbuh di Kepala.   Bisa di hubungi di [email protected].

Komentar