Lima Puisi Agus Buchori

  • By Agus Buchori
  • 06 Maret 2020
Ilustrasi: Pixabay

Di Semarang Sisa Kediktatoran Menjelma Hantu

 

Memasuki salah satu pintu di gedung itu

Laksana menguak suara jeritan para tahanan

Mencekam. Pengap

Tercium darah sisa sisa siksa

 

Berpuluh tahun lalu

Saat kediktatoran dan ketidakadilan penguasa

Memenjarakan pribumi tak berdaya

Menerima dera menjadi luka luka abadi berbilang masa

 

Kini ketidakadilan itu berbuah riwayat

Bagai membangkitkan ribuan mayat

berdiri dan melangkah dari ribuan pintu

Hanya di Semarang sisa kediktatoran bisa menjelma hantu

 

 

 

Di Stasiun Tawang

 

Orang orang bergegas turun

Menyandarkan lelah dan rindu

Sejenak menyalakan rokok disela irama Gambang Semarang

Di kursi Stasiun Tawang itu mereka hembuskan harapan harapan

 

Malam itu nampak sepasang kekasih

Saling berhadapan di pintu kereta

Mereka hanya diam

Sementara wajah wajah resah melewatinya

 

Saat peluit nyaring menyapa telinga

Kenyataan adalah jarak yang harus ditempuh

Mesin menderu dan orang orang bergegas

Meninggalkan bara dalam sejeda waktu

 

 

Semarang Adalah Catatan

 

Memasuki kotamu saat tergenang

Kuingat dua wajah kotamu

Bukit dan rawa

 

Di selatan adalah kenyaman

Di utara adalah tempat kehidupan

Bersatu menghidupkan gerak kota

 

Terabadikan jejak di kota lama

Membingkai jejak sejarah kotamu

Menghayati lembar catatan di sana

Tentang perang cina dan kisruh bumi jawa

 

Kini yang ada adalah catatan

Seberapa jauh air laut ke daratan

 

 

Malam di Simpang Lima

 

Dengan sepincuk tahu petis

Menyapa malam di Simpang Lima

Silau pada peradaban rakyat

Begitu gemerlap di alun alun kota

 

Nyiblek, Mas

Suara di balik rimbun taman kota

Sambil menaikkan ritsleting celananya

Ia tersenyum malu malu

 

Sambil berlari kecil

Gadis kecil itu tersipu malu

Digenggamnya lembaran sisa cinta

Entah untuk sekolah atau beli pulsa

 

Malam di Simpang Lima

Gemerlapnya bercampur desah

Gadis muda dan bapak tua

Dan komedi putar itu tertawa entah untuk  apa atau pada siapa

 

 

Ereveld Kalibanteng

 

Berjajar rapi ratusan nisan

Mereka perlu dihormati

Di negeri ini

 

Ini negeri punya bumi

Siapa mati

Biarlah ia berserah diri

 

Bukit kota semarang

Menjadi saksi

Kita masih punya Budi  


TAGS :

Agus Buchori

Penulis lahir di desa nelayan, Paciran, di pesisir utara Kabupaten Lamongan. Sehari-harinya menjadi Arsiparis di Dinas Kearsipan Daerah Kabupaten Lamongan serta mengajar Bahasa Jawa di SMAM 6 dan MTsM 02 Pondok pesantren Karangasem Paciran Lamongan.

Saat ini   aktif di komunitas Literacy Institute yang bergerak dalam pengembangan literasi di lamongan. Bersama teman temanya di sana melakukan penerbitan buku baik sastra maupun budaya untuk menggiatkan kegiatan tulis menulis di Lamongan.

Puisinya tersebar di Bali Post, Radar Bojonegoro (jawa Pos grup), Balai Bahasa Jawa timur dan di qureta.com, Baru baru ini bersama komunitasnya menerbitkan antologi cerpen Bocah luar Pagar , Hikayat daun Jatuh, dan antologi puisi Ini Hari sebuah Mesjid Tumbuh di Kepala.   Bisa di hubungi di [email protected].

Komentar