DILARANG MATI

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 06 Juni 2020
Foto: Tut Sugi

Sebuah spanduk terpajang dengan gagahnya di kotaku. Talinya dibentangkan. Di samping kanan-kirinya diisi gambar bunga jepun. Ucapannya itu yang menggugah pikiranku, “Dilarang Mati”. Ada apa sebenarnya? Siapa yang memasang spanduk ini? Apa tujuannya? Pertanyaan-pertanyaan itu silih berganti datang di benakku. Aku baru saja datang dari luar daerah. Tata aturan mengenai protokoler kesehatan pencegahan Covid-19 sudah kulewati. Semuanya lancar-lancar saja. Tak ada gejala tubuhku digerogoti virus korona. Aku termasuk orang yang taat menjaga kesehatan. Sehat itu berkah bagiku. Ia harus tetap dijaga.

Kudatangi teman-temanku. Ia pun tidak seakrab dulu. Tampaknya ia sudah mengikuti imbauan-imbauan. Ketaatannya kuacungi jempol. “Kapan datang?”
“Sudah kemarin malam. Sudah baca spanduk yang terpanpang di jalan itu?” tanyaku.

“Sudah. Memangnya ada apa?”

“Kok Dilarang Mati? Orang mati memang ada larangannya. Orang mati saja diatur.” Nada bicaraku seperti memprotes keadaan.

“Itulah kelebihannya kota kita. Coba kau bayangkan jika tidak dilarang mati. Beberapa kali kita akan ngaben. Ramai-ramai ngaben tidak berlaku sekarang ini. Cuma dua puluh lima orang. Apa bisa dengan dua puluh lima orang? Lebih-lebih jika mengusung bade yang tinggi. Aku bersyukur ada spanduk seperti itu. “Dilarang Mati.”

Aku menjadi mati kutu. Aku tidak lagi banyak bertanya. Setelah kupikir-pikir benar juga kata-kata temanku itu. Dilarang mati. Aku kembali ke rumahku. Aku tidak akan menanyakan mengenai spanduk itu. Toh tak ada kaitannya dengan tugas-tugasku. Kunikmati saja kesukaanku.
Aku bekerja di rumah stay at home, begitu orang-orang mengatakan. Semenjak Covid-19 ini, aku mulai belajar menikmati rumahku sendiri. Aku bersyukur bisa memiliki rumah kecil dan sederhana di sebuah kota yang menurut orang-orang dari luar saja termasuk kota yang indah. Orang tuaku sudah usur. Ia terkadang sudah pangling jika diajak ngobrol tentang situsi kota akhir-akhir ini. Aku diamkan saja mengenai spanduk itu. Ia pun hanya duduk menikmati ketuaannya.

Setiap hari, kuliwati hari-hari bersama internet. Tanpa internet tak bisa bekerja. Sepintas aku merasakan hidupku diatur oleh internet. Internet lelet, kerjaku tidak normal. Itu juga berarti kouta habis, pertanda harus segeri diisi.  Itu berarti uang di kantungku harus keluar. Tapi, ini sudah keputusan, ya kuikuti juga. Selama menyangkut kesehatan kuturuti.

Sewaktu-waktu, kusempatkan keluar rumah. Kalau terlalu lama tak keluar rumah juga kurang bagus. Jangan-jangan dikatakan kurang kenal lingkungan, kurang peduli sosial. Biasa segala kata yang bernada negatif, biasanya lebih cepat masuk di telinga dibandingkan dengan kata-kata yang bernilai positif. Itulah hidup. Semuanya ada dua sisinya.

Orang-orang baik dan budiman memberikan bantuan pada ayahku. Aku terima saja. “Masih ada orang-orang peduli pada sesama dalam kondisi seperti ini,” bisikku. Karena sumbangan biasanya lancar pada musim pemilu saja. Tapi, sekarang. Hampir semuanya mengulurkan tangan pada sesama dengan beragam cara dan beragam bentuk bantuan.

“Ini bantuan untuk ayahmu. Hanya sekadar saja yang bisa kami berikan.”

“Terima kasih,” jawabku. Kubuatkan juga sekadar minuman padanya. Ia pun menikmatinya. Di sela-sela perbincangan kami, ia menanyakan usia orang tuaku. Aku sampaikan sudah usur. “Kira-kira delapan puluh tahunan. Tapi,   nafasnya masih bagus. Jika tidak seperti ini biasanya pagi-pagi mengelilingi kota ini. Ayahku kenal betul setiap lekuk kota ini. Ia tahu perjalanan kota ini. Kota ini belum seramai ini sudah ia ada di sini. Tapi karena kami dari keluarga sederhana dan tidak memiliki tanah seperti orang-orang itu. Makanya hanya ini yang dimiliki. Kami bersyukur sudah bisa memiliki rumah sederhana ini.

“Kesehatnnya gimana?”

“Selama yang kutahu. Cukup baik. Gara-gara wabah ini tak sempat jalan-jalan.” Ia manggut-manggut. Aku tahu itu hanya pura-pura saja memahami situasi keluargaku. Ya agar nyambung hubungan sosial biasa begitu. Padahal, itu hanya kepura-puraan saja. Ia pun meninggalkan rumah kami.

“Siapa itu, De?” tanya ayahku.

“Orang yang memberikan bantuan untuk Bapa.”

“Memangnya kau tidak bisa menghidupi bapa-mu ini?”

“Bukan begitu, Pa. Katanya ini bantuan dari seseorang. Tiang sendiri tidak tahu siapa yang memberi bantuan.”

“Kok aneh sekali? Tidak tahu siapa yang memberi bantuan. Itu tidak benar.”

“Maaf Pa. Kelupaan tadi menanyakan siapa donaturnya.”

“Besok-besok jangan seperti itu. Siapapun yang memberi bantuan kita harus tahu. Jangan asal menerima saja. Paling tidak kita ikut mendoakan agar rezeki orang yang membantu kita bisa lebih baik.”

Aku menjadi tidak enak hati sama orang tuaku. Ternyata hal-hal kecil seperti itu bisa mengganggu keluargaku. Aku pun kembali melakukan pekerjaan seperti biasanya. Pagi, siang, sore sampai malam bekerja di rumah. Jika kejenuhan menghampiri pikiranku, aku gerak-gerakkan tubuhku dan menata kebun kecilku. Pikiranku tak lagi diganggu oleh spanduk “Dilarang Mati.” Ada ketenangan walau di rumah saja.

Malam terasa dingin lebih-lebih hujan lumayan lebat malam ini. Aku hanya bisa memohon agar tidak sampai terjadi sesuatu. Yang kukhawatirkan atap rumahku yang sudah lama tak diganti. Tuhan mendengar doaku. Hujan mereda. Kegelisahanku tak lagi menyentuh hatiku. Aku tidur lelap sekali. Orang tuaku tidur di kamar sebelah. Ia lebih nyaman menyendiri. Tak mau merepotkanku. Kadang-kadang larut malam kuintip orang tuaku. Nafasnya kuperhatikan. Siapa tahu penyakit tua mengganggunya. Syukurlah tidak ada tanda-tanda akan muncul sakitnya. Aku kesiangan. Aku kaget kutengok kamar ayahku ia tak ada di kamarnya. Aku was-was. Jangan-jangan ayahku keluar rumah berolah raga. Kebiasaannya yang sulit kuubah.

Ternyata dugaanku benar. Ia mengelilingi kotanya. Kebetulan saat di jalan, aku bertemu dengan teman karibnya. Kutanyakan, “Sempat bertemu dengan Bapa?”

“Tadi ia di sana.”

“Di sana mana?”

“Di sana. Aku tak tahu selanjutnya. Coba kau datangi tempat itu.”

Aku mendatangi tempat yang ditunjukkan oleh sahabat karibnya. Aku tak ingin terjadi sesuatu ada orang tuaku. Kulihat beberapa orang berkumpul di bawah tiang lengkap dengan masker segala. Ia menunjuk-nunjuk ke atas. Aku mempercepat langkahku. Aku terkejut. Kulihat Bapa dengan kedua tangannya mencabut dan membuang  spanduk “Dilarang Mati.”

Catatan
ngaben: upacara pembakaran mayat di Bali
Bade: pengusung mayat saat upacara ngaben
Bapa: ayah

 


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar