JANJI

  • By I Wayan Widiastama
  • 07 Juni 2020
Ilustrasi: Pixabay

    Gatot duduk di pasir Pantai Amed yang halus. Matanya menatap deburan ombak yang mengalun pelan, menimbulkan irama yang mestinya menyejukkan hati. Bibir pria 37 tahun itu tersenyum tipis melihat dua bocah bule berlarian menuju ombak. Bocah yang perempuan terjatuh, bocah lelaki malah tertawa melihat temannya meringis. Dari balik kaca mata hitamnya Gatot melihat seorang pria bertelanjang dada menikmati hangatnya mentari. Pria itu memegang erat tangan mungil bocah perempuan. Itu pasti anaknya. Di pagi menuju siang itu Gatot banyak menemukan wisatawan yang menikmati Pantai Amed bersama keluarganya. Ada yang berlarian di pasir, berenang bersama, ada juga terlihat naik perahu tradisional menuju lautan, mungkin mereka akan pergi ke tempat menarik yang banyak bertebaran di wilayah laut seputaran Amed.
    Gatot, mantan ketua BEM di Universitas ternama di Bali. Saat jadi mahasiswa Gatot adalah aktivis yang punya jaringan luas, supel dalam pergaulan. Akibatnya penggemarnya juga banyak, terutama penggemar wanita. Dari teman sekelas, teman satu jurusan, satu fakultas, satu kampus, sampai dosen-dosen muda juga jadi penggemar Gatot. Pesona pria itu luar biasa. Saat bicara bibirnya akan terlihat senyum memikat. Dia ganteng, pintar, dan cukup berada.
    Dari banyak teman wanita yang mengantre ingin jadi pacar bahkan istri, akhirnya Gatot menjatuhkan pilihan pada Ni Putu Pradnya Paramitha Susena. Putu, begitu Gatot memanggil wanita kesayangannya itu. Mereka bertemu dalam suatu acara di kampus Gatot. Saat itu Putu adalah siswi kelas XII sebuah SMK terkemuka di kota Denpasar.
    Biasanya Gatot tak perlu agresif mendekati cewek yang disukai tapi lain dengan Putu. Perlu perjuangan enam bulan bagi Gatot agar bisa menjadi teman spesial bagi Putu. Dua tahun berpacaran Gatot nekad melamar Putu. Dengan ditentang keluarganya juga tanpa restu keluarga Putu. Mereka pun mengikat janji suci pernikahan. Pernikahan sederhana, di bawah sinar purnama yang cerah di tengah lapangan sepak bola yaitu di Stadion Dipta Gianyar.  Dengan saksi dua teman  mereka menikah. Kenapa di lapangan sepak bola? Karena mereka adalah pencinta bola. Keduanya adalah Milanisti, penggemar klub sepak bola AC Milan dari Italia. Pernikahan beda keyakinan itu berlangsung dengan mas kawin 2 lembar tiket pertandingan sepak bola.
    Kini pernikahan mereka telah memasuki usia ke-9. Tahun depan akan memasuki tahun kesepuluh. Pernikahan yag dulu terasa indah kini masih indah dirasa oleh Gatot. Istrinya Putu terlihat makin cantik memasuki usia kepala tiga. Istrinya yang bekerja di Bank Swasta terkemuka memiliki karir yang cukup bagus. Bagaimana dengan Gatot?  Pria itu kurang beruntung dalam karir. Setiap usaha yang ia bangun gagal total alias GATOT. Dia pernah mencoba usaha konveksi, membuka distro tapi gagal karena dia ditipu teman bisnisnya. Dia membuka coffee Shop, gagal juga. Kali ini karena coffee shop mengalami kebakaran. Semua ludes, modal yang mengandalkan pinjaman juga macet. Kini Gatot hanya bekerja di sebuah  majalah lokal. Tentu dengan pendapatan kecil, tidak sampai setengah dari penghasilan istrinya.
    Gatot merasa heran dengan perjalanan hidupnya yang seperti itu. Sangat berbeda dengan saat dia masih muda. Segala yang dia lakukan seratus persen berhasil. Dia tidak pernah kesulitan mencari sponsor acara kampus. Tapi roda hidup berputar, kini dia kesulitan mencari penghasilan. Gatot makin pusing di saat bertemu teman masa kuliah yang sudah berhasil dalam karier maupun rumah tangga. Nah, dia gagal total alias gatot, bahkan keturunan pun belum ada.
    Dulu bulan madu pernikahan mereka lewati seminggu di Malaysia. Sambil menonton pertandingan Timnas sepak bola Indonesia menghadapi tuan rumah Malaysia. Sisanya mereka jalan-jalan di seputaran Kuala Lumpur. Mereka merengkuh gairah penganten baru.
    “Nanti saat usia perkawinan kita ke-10 aku akan ajak kamu dan anak-anak untuk merayakan hari jadi pernikahan di San Siro, Milan di Italia. Kita ajak anak-anak melihat megahnya sejarah AC Milan, klub favorit kita.  Aku akan beli tiket laga AC Milan. Mungkin Milan versus Inter atau Milan lawan Juventus. Sisanya kita akan melewati malam indah di Milan, kita juga harus ke Roma, kota air Venezia, dan tentu aku akan mengambil foto keluarga kecil kita berlatar menara Pisa.” Itulah janji yang Gatot ucapkan di kamar VIP hotel tempat mereka menginap. Di atas dada lembut istrinya.
    Tapi janji itu sepertinya akan susah terwujud. Tak ada keluarga kecil, mereka masih berdua belum bertiga atau berempat. Tiket menonton pertandingan AC Milan? Jalan-jalan di Roma, menara Pisa. Itu Cuma mimpi. Jangankan membeli tiket pertandingan, biaya dipakai berobat ke dokter spesialis masih susah dicari.  Dan hasil masih nihil. Mereka belum dikaruniai  keturunan.  
    Yang membuat Gatot semakin  pilu, merasa bersalah adalah sikap istrinya. Putu tidak pernah menagih janji, atau mengingatkan janji itu. Pasca pernikahan mereka hidup mandiri dalam kesederhanaan. Ayah Gatot yang tidak setuju mempunyai menantu beda keyakinan memutuskan hubungan keluarga dengan Gatot. Begitu pula dengan orang tua Putu, mereka melarang Putu pulang ke rumah orang tuanya.
    Saat pacaran Gatot mengajak Putu jalan-jalan naik mobil, liburan keliling Indonesia, wisata kuliner juga keliling Indonesia. Tapi kini saat mereka hidup bersama segalanya berbeda. Hanya ada dua sepeda motor dan rumah kontrakan yang sederhana. Tapi Putu menjalani itu dengan tabah dan sabar. Putu memang istri yang sempurna baginya.
    “Itualah akibatnya kalian menikah tanpa restu orang tua.” Kalimat itu yang sering didengar Gatot dari teman-temannya.
    “Coba kamu pakai cara lain, jangan ke dokter saja. Temuilah dukun.” Ada saran seperti itu yang juga didengar Gatot.
    Gatot mengikuti saran itu. Ia menemui seorang dukun termasyur di Bali. Si Dukun katanya bisa melihat masa lalu dan masa depan.
    Jauh di sana, di suatu tempat yang damai. Dalam kondisi yang berbeda dengan yang dialami Gatot, Layonsari dan Jayaprana duduk santai di teras rumah mereka di salah satu sudut nirwana yang asri. Mereka telah menikmati kebersamaan dalam gelora cinta selama ratusan tahun. Pagi yang cerah itu, Jayaprana menikmati secangkir teh surga yang menyegarkan. Tiba-tiba handphone di meja berbunyi. Beberapa menit kemudian Jayaprana terlibat pembicaraan yang terlihat serius. Ending-nya adalah pasangan abadi itu telah memacu mobil sport warna kuning yang mewah menuju istana pemimpin nirwana.
    Jayaprana membuka surat yang disodorkan seorang lelaki. Surat itu adalah Surat Keputusan Raja Nirwana. Isinya memerintahkan Jayaprana dan Layonsari untuk kembali ke dunia. Reinkarnasi menjadi manusia.
    Jayaprana dan Layonsari berpelukan. Akankah mereka menemui lagi kisah cinta yang pahit di dunia seperti kehidupan mereka yang dahulu? Begitulah Jayaprana akhirnya ke dunia menjadi Gatot dan Layonsari ada dalam raga Putu. Keduanya kini jadi suami-istri. Begitu penjelasan Ki Dukun pada Gatot dan istrinya.
    Karena dalam tubuhnya ada Jayaprana yang membuat nasibnya berubah setelah menikah? Karena dalam tubuh indah istrinya bersemayam rohnya Layonsari yang menyebabkan mereka belum punya keturunan? Jadi itukah penyebabnya perjalanan rumah tangga mereka tidak lancar.  Karena mereka adalah Jayaprana dan Layonsari?
    Hari itu matahari terbit seperti biasa, langit berwarna seperti hari sebelumnya, aktivitas penduduk kota juga seperti biasa. Yang berbeda adalah di hati Gatot. Hari itu adalah ulang tahun pernikahan mereka yang ke-10. Dan saat ini mestinya Gatot mengajak keluarganya ke Italia. Mestinya dirinya sedang jalan-jalan menikmati  keagungan kota abadi Roma. Tapi kenyataannya lain, Gatot sedang di rumah kontrakannya. Mengambil jemuran yang sudah kering dan bersiap untuk menyetrika. Putu istrinya sudah dua bulan  bertugas di luar Bali. Maklum istrinya kini adalah kepala bagian di kantornya. Dia diperbantukan di kantor cabang yang baru selama beberapa bulan.
    Sore datang menandai akhir kesibukan Gatot. Sore yang cerah menemani Gatot duduk menikmati debur ombak Pantai Amed. Handphone Gatot berbunyi. Sebuah pesan masuk: Aku hamil. Sudah dua bulan. Aku ingin mengabarkannya langsung saat aku pulang tapi aku sudah tak sabar. Tiga hari lagi tugasku selesai. Aku akan pulang.  Pesan yang tak sempat dibaca oleh Gatot.
    Sepasang tangan lembut menyadarkan Gatot dari lamunannya. Tangan itu memegang pergelangan tangan Gatot, membawanya menuju air laut menjauhi pasir Pantai Amed. Tangan itu milik sosok berambut panjang berpakaian serba hijau. Sosok itu berbisik di telinga Gatot: “Aku sudah memenuhi permintaanmu, kini waktumu menepati janji.” Gatot hanya mengagguk. Keduanya berenang dan menari bersama ikan-ikan yang cantik.  Bergerak lembut ke arah sebuah istana yang berdiri di antara ikan-ikan yang menari. Pagi itu nelayan di Pantai Amed geger. Sesosok mayat lelaki mengambang di bibir pantai.
    Beberapa bulan telah berlalu. Sore itu, Putu dengan kandungan mendekati bulan kesembilan, melangkahkan kakinya mendekati ruangan kecil di rumahnya. Pelan didorongnya pintu triplek di depannya. Pengap, gelap, ditemui oleh Putu. Sudah enam bulan suaminya meninggal. Ia belum sempat membersihkan kamar kecil itu. Menurut suaminya itu adalah kamar baca, kamar menyepi, meditasi. Karena kesibukannya Putu hampir tidak pernah memasuki kamar itu. Kamar yang dipenuhi buku dan barang lain koleksi suaminya
    Pandanganya Putu terpaku pada tempat pembakaran dupa yang teronggok di lantai. Di sebelahnya sebuah buku bersampul coklat kumal berdebu. Tangan Putu meraih buku itu. Di bukanya halaman demi halaman. Entah huruf apa Putu tak paham, mungkin aksara jawa, atau yang lain. Mendekati halaman terakhir ada sehelai kertas terselip: Aku ikat janji denganmu Dewi: Generasiku berlanjut, aku mengabdi padamu. Begitulah isi tulisan di kertas tersebut. Putu yakin itu adalah tulisan tangan suaminya. Banyak tanya mecerca kepala Putu. Tulisan berwarna merah itu: amis darah.
   Putu merasa gelisah, ada yang bergerak hebat di perutnya. Ada yang menghujam di rahimnya, sakitnya menulang. Dia terduduk menahan sakit. Sesuatu di perutnya makin bergerak kencang. Sepertinya sesuatu itu mencari jalan ke luar. Sepuluh menit berlalu, tubuh Putu dibanjiri keringat. Dia rasakan sesuatu yang besar keluar dari selangkangannya diiringi suara tangis. Pandangan Putu memudar. Samar di lihatnya sosok berambut panjang berdiri di depannya. Sosok itu berjongkok lalu berdiri dengan tangan menggendong sesuatu. Dunia makin pudar dirasakan oleh Putu, lalu gulita. Ada sesuatu menyentuh keningnya, sepertinya itu bibir seseorang.
    “Terima kasih sayang.” Suara menggema di telinganya. Itu mirip suara suaminya.
    “Maafkan aku. Aku egois. Aku telah mengikatkan diriku dalam perjanjian dengan Sang Dewi.” Sekarang suara itu hanya berupa bisikan di telingan Putu yang terkulai.
    Sang Dewi? Perjanjian? Putu tak mampu untuk menganalisa keadaan. Kini sepi, derasnya hujan yang tercurah dari langit kelam tak didengar oleh Putu. Putu juga tidak mendengar tangisan bayi yang berasal dari kamar tidurnya.

Karangasem,  Desember 2018 - Januari 2019
    

Catatan :
Layonsari dan Jayaprana adalah tokoh legenda yang terkemuka di Bali. Jayaprana seorang pria dari rakyat biasa yag di jadikan bawahan oleh raja. Jayaprana lalu menikahi Layonsari. Kecantikan Layonsari membuat raja gelap mata, dan ingin menjadikannya istri. Raja lalu memerintahkan patihnya membunuh Jayaprana. Layonsari memilih bunuh diri menyusul suaminya dan tidak mau diperistri oleh raja.
Makam Layonsari dan Jayaprana diyakini ada di Kabupaten Buleleng, Bali.

 


TAGS :

I Wayan Widiastama

Guru SD yang lahir dan tinggal di Karangasem, Bali.

Komentar