Dua Puisi DG Kumarsana

  • By DG Kumarsana
  • 12 Oktober 2020
Pexels.com

TANPA  KATA


Siapa yang menyihir laut, gunung, dataran senyap
jadi ikan yang melaut memahami musim demi musim
jadi burung-burung terpanah
jadi petani yang kehilangan tanah
menghamburkan bara angin
            terbang dalam kisaran waktu
sajakku gagu menyangga bumi yang kian tua berkerak termakan renta
tanpa kata
            hanya isyarat lepas kata kata tak bermakna
anak-anak belajar melafal ungkapan,siapa yang akan menjadi pendengar
jadi bekal demontrasi di jalanan atau melafal pernyataan di atas mimbar
pada berebutan turun ke jalan jalan suarakan keadilan yang tak pernah adil
suatu saat para leluhur turun melambaikan tangan
menyebar wewangian bunga ketika masih peka agama
sekarang gunung-gunung tanpa isyarat tanpa tekateki
tidak ada cinta tersembunyi lagi, karena tidak ada yang menyembunyikan lagi
telah hafal bahasa ikan di laut lupa musim
mana bayangmu hanya suara suara angin sembunyinya sunyi
mana para gagu yang pintar melafalkan mantram
kata-kata yang disucikan orang suci
mantram punya suara punya mujizat punya api
punya sayap berkepak burung burung tak terpanah bayangan angin
pinjam satu isyarat
pinjami para pejalan kaki, pendakian tak henti
seperti tak akan henti para nabi suarakan
katanya kita telah kehilangan akal sehat.

 

UJUNG LANGITMU PENGHUJUNG WAKTU
                     

Aku terkecup waktu
berlari dalam penat melihat jauh horizon warna langit ke depan : tak menutupi hujan
terbayang samar melampaui perjalanan maut sesumbar langkah maya mengukur jarak langitmu
berulangkali memercik cahaya ditiup angin dari bintang yang terbungkus anginnya sejentik kunang- kunang. Matamu telanjang mengulum langit malam,
                        telanjang menghablur kata kata. Baca satu ayat.:  mata penaku silau
                                    mata kunang-kunang mengaburkan cahaya
terbuat dari apakah malam merasakan tubuh ganjil sendiri maknai puncak igaumu
angin menerpa tubuh yang dingin
            sepasang kunang kunang birahi dalam cahaya suram menengok rahimmu
kau wanitakah menjelma malam tak selekas menangkal mimpi ?
angin menerpa tubuh yang liar  ( dalam tandatanya penuh erang)
aku mengucur waktu
            menyimbah malammu penuh bintang membayangkan kunang-kunang merangsak cahaya
mauku yang setubuhi langit-langit birahimu
aku terkecup keganjilan, mengucur duniamu yang menari di atas tubuhku
demikian kata-kata muncul melampiaskan tarian jiwa bertubuh-tubuh lelah bersetubuh dengan penghujung waktu sang penggugat yang beringas dalam matanya liar : demikian liurnya
menghujam  :          (  langit tak bersyahwat ) atau kehilangan akal

 

 


TAGS :

DG Kumarsana

DG Kumarsana, lahir di Denpasar, menulis puisi cerita pendek, novel, prosa dan feature. Tulisannya dimuat di Bali Post, Nusa Tenggara, Karya Bakti, Lombok Post, Suara NTB, Koran Kampung, Sumut Pos, Banjarmasin Post, Radar Surabaya, Tribun Bali, majalah Ceria Remaja, majalah Gema Karya, majalah Ekspresi, buletin Jejak, buletin Kapas, majalah Canang Sari dan  majalah Satua.

Buku-bukunya yang telah terbit: Komedi Birokrat (Pustaka Ekspresi, 2010), Kabinet Ngejengit (Pustaka Ekspresi, 2012), Senggeger (Pustaka Ekspresi, 2010) Mata Dadu (Pustaka Ekspresi, 2014), Penari Ular (Pustaka Ekspresi, 2019), Nyoman dan Sengeger (Halaman Indonesia,2020).

Komentar