FAJAR

  • By I NYOMAN AGUS SUDIPTA
  • 26 Februari 2021
Pexels.com

KONTESTASI politik tahun ini menggiring diriku untuk ikut berpartisipasi. Aku dicalonkan oleh partai politik yang sudah sering berkuasa. Aku tertarik ikut bergabung karena partai ini tidak mengharuskanku membayar mahar untuk menjadi calon yang diusung. Mungkin partai yang mengusungku tahu tentang kekuatan massa yang aku miliki. Partai yang mengusungku memang memiliki kepentingan politik, yaitu kekuasaan. Namun berbeda denganku. Aku memiliki kepentingan lain. Tujuan lain yang orang lain tidak akan pernah tahu. Aku tidak pernah ambisi dengan kekusaan. Sesungguhnya semua itu dengan mudah bisa aku miliki. Bagiku kekuasaan itu sesungguhnya perbudakan. Kekuasaan itu kemunafikan. Kekuasaan itu kekejaman.

     Menurut cerita Ibu, aku terlahir disambut kokokan suara ayam jantan yang membangunkan hari. Ketika gelap mulai dibasuh sinar mentari. Ketika para Pendeta mempersiapkan diri untuk melakukan Surya Sewana. Bahkan tangisan pertamaku diiringi suara genta Pendeta. Itulah yang menyebabkan aku diberi nama Putu Fajar. Nama ini pemberian dari Kakek. Putu adalah sebutan untuk cucu ataupun anak pertama di Bali. Karena begitu aku lahir ternyata itulah akhir dari kebersamaan Ibu dengan Ayah. Ternyata Ayah tidak pernah lagi bertemu dengan Ibu. Ayah tidak pernah melihat wajahku. Ayah tidak pernah mendengar tangisan pertamaku. Ayah hilang entah ke mana. Menurut beberapa sahabat karib Ayah, saat itu ketika selesai pertemuan yang membahas tentang kemenangan partai, ternyata Ayah kalah. Ayah kalah karena tidak pernah ditemukan keberadaannya sampai sekarang. Saat rapat mempersiapkan kemenangan partai yang ikut pemilu waktu itu, Ayah mendahului pulang. Ayah pamitan akan mendampingi istrinya yang sedang berada di bidan. Waktu itu memang Ibu sedang mempertaruhkan nyawanya untuk melahirkanku. Namun, Ayah tidak pernah sampai ke tempat Ibu melahirkan. Ada kabar, Ayah terkena serangan fajar. Begitu keluar dari tempat dilaksanakannya rapat, katanya Ayah sudah dibuntuti oleh sebuah mobil truk. Begitu Ayah berjalan beberapa ratus meter teryata dari dalam truk itu turun enam orang yang mempergunakan seragam seperti ninja. Wajah mereka tertutup, hanya mata saja terlihat. Dengan sigap Ayah dilumpuhkan dan dimasukkan ke dalam truk. Sampai sekarang kabar tentang keberadaan Ayah tidak pernah jelas. Raganya raib ditelan bumi. Kami berusaha mencarinya, namun usaha kami seperti mencari jejak dalam air.  

     Kakek bercerita bahwa pada waktu itu yang berkuasa adalah sebuah rezim. Dinasti kekuasaan yang telah terbangun sejak lama. Hampir sudah empat windu lamanya. Ayah memang ikut partai yang bertentangan dengan rezim. Segala gerak-gerik Ayah sudah diintai. Ketika pemilu berlangsung memang di desa dapat dihitung dengan jari orang-orang yang memiliki loyalitas dan ideologi yang kuat terhadap partai yang berseberangan dengan rezim. Salah satunya adalah Ayah yang sangat kuat pendiriannya pada partai yang diusungnya. Walaupun sering kalah jumlah suara karena banyak yang beralih pada partai penguasa, namun Ayah tidak pernah mundur. Ayah tidak pernah takut, meskipun nyawa menjadi taruhannya. Baginya kebenaran harus diperjuangkan. Kebenaran harus disuarakan, salah satunya melalui jalur politik. Ketika itu memang partai yang diusung Ayah kalah. Strategi yang dirancang untuk pemenangan ternyata sudah dipatahkan dengan serangan fajar. Ayah yang menjadi penggerak strategi tidak pernah kembali. Kejadian yang selalu membekas bagi Kakek. Maka ketika musim pesta demokrasi datang yang dirasakan Kakek adalah kehilangan. Waktu itu Kakek bukan saja kehilangan Ayah sebagai anaknya, tetapi Kakek kehilangan hewan peliharaannya yang dibantai. Kakek memiliki sapi jantan yang ditaruh di kebun. Jarak kebun dengan rumah sekitar 500 meter. Setiap hari Kakek selalu mengunjungi sapinya untuk diberikan rumput dan air. Sapi jantan yang gagah, tapi mengalami nasib naas dibantai bersimbah darah. Kepalanya dipenggal dan tubuhnya dipotong-potong menjadi tiga bagian. Semua potongan sapi jantan itu ditaruh di atas daun pisang yang sudah digelar di atas tanah dengan bagian penggalan kepala ditaruh di depan. Kejadian itu membawa trauma dan luka mendalam bagi Kakek dan seluruh keluarga. Kehilangan anak dan kehilangan hewan ternak, itu yang dialami Kakek. Semenjak kejadian itu seluruh keluarga sangat apatis dengan pesta demokrasi. Bahkan sampai sekarang pun setiap mendapatkan surat panggilan memilih, tidak ada seorang pun di keluarga kami yang datang ke TPS. Semua sudah tidak memiliki suara. Keluargaku sudah kehilangan suara. Kami sudah dibungkam.

     Keluarga kami seolah-olah dihantui oleh rezim kekuasaan. Keluarga kami tidak pernah mau ikut terlibat dengan segala tetek bengek politik. Menurut Kakek politik itu licik. Menurut Ibu politik itu jahat dan kejam tanpa nurani. Mereka berdua sangat mengawasiku dalam bergaul. Bahkan mereka marah besar ketika aku menonton berita atau pun acara politik di televisi. Bagi mereka segala tontonan politik tidak ada yang asyik. Semua penuh dengan racun dan pisau yang siap membunuh. Tokoh-tokoh politik yang berbicara di berbagai media sesungguhnya para penari topeng yang dipinggangnya sudah terselip pisau belati atau pun senjata api yang akan dipakai membunuh lawan politiknya. Namun semua itu tidak juga membuatku takut dengan politik. Tidak membuatku benci dengan politik. Justru membuatku penasaran dan ingin tahu apa sesungguhnya itu politik. Rasa penasaran dan ingin tahuku terobati ketika aku sudah mulai kuliah. Dalam perkuliahan aku mengambil jurusan Antropologi Budaya. Aku ingin mempelajari tentang manusia dan kebudayaannya. Karena kalau aku mengambil jurusan Ilmu Politik pasti akan ditentang dengan sangat luar biasa. Namun dengan mempelajari ilmu Antropologi aku bisa terjun ke masyarakat dan tahu tentang pola kebiasaan yang dilakukan, terutama tentang kebudayaannya. Inilah modal dasar untuk memahami karakteristik kehidupan manusia sebagai makluk individu dan sosial. Pengetahuan ini sebagai pijakan untuk memahami politik dalam kehidupan. Ketika waktu perkuliahan kosong, aku selalu menyempatkan diri membaca tentang apa itu politik. Membaca dan berusaha memahami perkembangan politik yang ada. Bahkan aku sering meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang politik bersama teman-teman atau pun orang-orang politik. Aku semakin penasaran dengan apa yang ditulis Ayah di balik lemari kayu jati yang ada di kamarku. Mungkin Kakek dan Ibu tidak tahu. Di sana tertulis “Kebenaran tidak akan pernah mati, kebenaran harus terus disuarakan walau mulutku terbungkam. Kebenaran akan terus hidup, meski ragaku telah mati. Kekuasaan tidak pernah abadi. Kekuasaan bukan tentang kursi-kursi. Kami bukan mencari penguasa, kami mencari pemimpin. Kami tidak ingin memperebutkan kursi-kursi kekuasaan, karena kami sudah memiliki kursi sendiri yang kakinya kokoh menyangga keadilan, menegakkan dan menyimpan kebenaran”.

     Aku berpikir bahwa apa yang ditulis Ayah hanya suara hatinya yang terdalam. Suara nurani yang ingin memperjuangkan kebenaran. Lama aku berusaha memahami dan memaknai tulisan itu. Lama pula aku merenungkan arti dari tulisan itu dan mengapa ditulis di belakang lemari. Ketika aku menemukan tulisan itu, aku terkejut dan ingin menceritakan pada Kakek dan Ibu. Tapi aku urungkan semua itu, karena nanti pasti dilarang dan disuruh menghapusnya. Bagiku tulisan itu adalah penyemangat. Bagiku Ayah masih hidup dalam tulisan itu. Ayah menyimpan semangat perjuangannya dalam tulisan itu. Ada juga pesan yang masih dijaga oleh Kakek dan Ibu. Pesan bahwa sampai kapan pun jangan pernah membuang kursi sederhana dari bambu yang dibuat oleh Ayah. Kursi itu masih tetap berada di dalam kamarku. Kursi yang terlihat kokoh karena ditopang oleh kaki-kaki yang kuat terbuat dari batang bambu utuh dan besar. Lama aku memperhatikan kursi itu. Aku mulai mengamati setiap lekuk kursi bambu itu. Aku penasaran terhadap kursi itu. Pesan dan tulisan Ayah seakan-akan menggiringku ke sana. Aku mulai perhatikan kursi tersebut yang menurutku terlihat janggal. Dua kakinya terlihat dibuat memang besar sehingga terkesan kuat dan angkuh. Aku perhatikan kedua kaki kursi itu. Rasa penasaranku membuncah. Aku memukul pelan-pelan batangan bambu yang menjadi kaki kursi itu. Suaranya terdengar aneh, seolah-olah dalam ruang bambu itu tidak kosong. Dalam ruang bambu itu seperti ada sesuatu yang disimpan. Malamnya ketika Kakek dan Ibu sudah tidur, aku membongkar kursi itu. Benar saja di dalam kaki kursi yang terbuat dari bambu itu, aku temukan dua gulung lontar yang diikat benang tri datu. Setelah aku buka perlahan dua gulungan lontar itu ternyata bertuliskan aksara Bali. Aku mencoba membacanya perlahan, karena aku pernah diajarkan tentang aksara Bali. Namun tidak semua dapat aku pahami isinya. Dua gulungan lontar itu aku simpan dalam tasku.

     Besoknya aku bergegas berangkat mengunjungi temanku yang menjadi penyuluh bahasa Bali. Di rumahnya aku menceritakan semua tentang dua gulungan lontar tersebut. Perlahan dua gulungan lontar itu dibukanya. Dia mengambil beberapa peralatan untuk membersihkan lontar tersebut agar aksara Balinya jelas. Kemudian dia menyuruhku agar mengambil hasilnya tiga hari lagi. Aku berbisik di telinganya agar semua isi tulisan dalam dua gulungan lontar itu dirahasiakan. Dia mengangguk, karena kami adalah sahabat satu perjuangan. Berkat bantuan temanku, semua isi tulisan dalam dua gulungan lontar itu terbaca dan telah diketik dalam huruf latin. Semuanya aku baca dengan seksama. Seperti membaca isi sebuah cerpen. Ada beberapa tokoh disebutkan di dalam tulisan itu. Latar dan alurnya sangat menarik, namun dalam endingnya aku sedih dan marah. Aku simpan kesedihan dan amarah itu. Setelah membaca semua itu, aku mulai paham tentang apa yang diperjuangkan Ayah. Strategi apa yang dibangunnya dan siapa saja lawan-lawan politiknya. Semangatku untuk terjun ke dunia politik semakin kuat. Aku mulai menggalang kekuatan dan dukungan untuk bisa masuk ke dunia politik, walaupun semua itu aku lakukan dengan cara senyap. Namun lambat laun semua yang aku lakukan tercium juga oleh Kakek dan Ibu yang mulai curiga. Dengan wajah merona merah Ibu memarahiku dan melarangku. Kakek dengan sabar berusaha menasehatiku dan menjelaskan tentang kejadian yang menimpa Ayah dulu. Intinya dari apa yang mereka bicarakan sesungguhnya mereka sayang kepadaku. Mereka tidak ingin aku mengalami nasib seperti Ayah. Mereka terus mewanti-wanti dan dengan berbagai cara melarangku. Tekadku memang sudah bulat untuk terjun ke dunia politik. Ibu bahkan menangis sejadi-jadinya ketika tahu diriku telah terdaftar dalam partai penguasa jaman rezim dulu. Bahkan Kakek tidak mau makan hingga jatuh sakit karena tidak setuju aku ikut berpolitik. Akhirnya aku menjelaskan semua tujuanku. Aku memperlihatkan dua gulungan lontar yang telah Ayah sembunyikan di dalam kursi bambu yang disimpannya. Ibu dan Kakek membaca isi dua gulungan lontar tersebut. Mereka masih sangat fasih membaca huruf Bali dalam lontar itu. Setelah itu baru mereka sadar dan dengan ikhlas mendukungku. Mereka mendukungku dengan cara diam. Mereka tidak pernah bicara apa pun tentang diriku yang telah masuk partai politik. Ketika diriku kampanye untuk persiapan pemilu mereka tetap sibuk pada pekerjaan sehari-hari mereka. Dukungan mereka sangat luar biasa dalam diam. Dukungan mereka berupa do’a yang berasal dari hati nurani terdalam, agar tujuanku tercapai.

     Menjelang akan pelaksanaan pencoblosan. Diriku tidak pernah menghiraukan tentang perolehan suara yang akan memenangkanku. Di lain pihak banyak calon sangat sibuk berkampanye mencari dukungan suara. Aku hanya berkampanye ketika partaiku yang mempersiapkan semuanya. Semua aku jalani tanpa ambisi. Semua aku jalani bukan karena kursi kekuasaan. Semua aku jalani demi kebenaran yang selalu disuarakan oleh Ayah. Benar saja ketika pelaksanaan pemilu berlangsung, baru kali ini Kakek dan Ibu datang ke TPS. Mungkin karena aku yang sedang bertarung, sehingga baru kali ini mereka berani bersuara. Baru kali ini mereka memberikan pilihan dan mempercayakan suaranya. Tetapi aku yakin mereka datang tidak memberikan suara dukungannya kepadaku.

     Tepat sekali yang aku pikirkan. Di TPS tempatku mencoblos tidak seorangpun memberikan dukungan suara untukku. Setelah rekapitulasi selesai, aku mendatangi Ibu. Aku memeluk dan menciumnya. Aku menceritakan bahwa aku kalah. Tetapi sesungguhnya aku menang. Tadi pagi sebelum matahari terbangun, aku melakukan serangan fajar. Dalang yang melenyapkan Ayah bernasib sama dengan sapi jantan milik Kakek, kepalanya tergantung di pohon beringin. Aku telah memenangkan pertarungan yang sesungguhnya. Semua kegelapan yang menutupi kisah hilangnya Ayah, telah aku temukan titik terangnnya bersama fajar yang menyingsing di ufuk timur.

 

Catatan:

Surya Sewana : Ritual yang dilaksanakan para Pendeta Hindu di pagi hari ketika matahari mulai terbit.

Benang Tri Datu : Benang yang memiliki tiga warna yaitu merah, putih dan hitam.


TAGS :

I NYOMAN AGUS SUDIPTA

Lahir di Karangasem 29 September 1984. Bekerja sebagai guru di SMK Negeri 1 Abang Karangasem. Sudah menerbitkan beberapa buku: 1) Melihat Bali dari Berbagai Sisi; 2) Belajar Bersama-sama: Taki-takining Sewaka Guna Widya; 3) Pendidikan Karakter Hindu; 4) Bocah Penjaga Sawah (cerita anak); 5) Ngrebutin Abu (kumpulan cerpen bahasa Bali); 6) Mulih (kumpulan cerpen bahasa Bali). Senang ngopi dan ngobrol penuh inspirasi serta beberapa tulisan berupa artikel, puisi, cerpen (bahasa Indonesia dan Bali) dimuat di Koran Bali Post dan Pos Bali.

Komentar