Isapan Terakhir

  • By Ramli Lahaping
  • 19 Desember 2021
Pexels

Nasi campur di piringnya telah tandas. Seperti biasa, Parjo memantik sebatang rokok. Dengan penuh penghayatan, ia lantas mengisapnya dalam-dalam, kemudian mengembuskan asapnya hingga menyesaki ruangan. Kalau begitu, ia merasa berhasil menyempurnakan makan paginya. Jika demikian, ia jadi bersemangat melakoni pekerjaannya sebagai buruh bangunan.

Rokok memang sudah jadi sajian penutup bagi Parjo. Selama ada rokok, hidangan di rumahnya yang kerap berupa nasi putih, sayur kangkung, dan ikan asin, sama sekali tak membuatnya mengeluh. Bahkan jika harus memilih, ia merasa lebih baik tidak makan sekalian daripada tidak merokok. Baginya, rokok adalah kebutuhan paling pokok.

Namun ketika ia masih duduk bertafakur dengan rokoknya, Mita, istrinya, kembali menghampirinya dengan raut kesal, kemudian bercerocos, "Masih pagi-pagi, Bapak sudah bakar-bakar uang. Apa Bapak akan mati kalau tidak merokok?"

Parjo lantas meniupkan asap rokoknya keras-keras. Ia jadi jengkel atas usikan istrinya. "Kenapa sih Ibu selalu mempermasalahkan soal rokok? Aku juga tidak merugikan siapa-siapa. Aku membelinya dengan uang hasil kerjaku sendiri. Apa masalahnya?"

"Ah, Bapak ini benar-benar buta hati. Ya kalau Bapak merokok, Bapak merugikan aku dan anak-anak, juga diri bapak sendiri. Kita sekeluarga bisa kena penyakit karena asap rokok,” sergah sang istri, lantas membersihkan meja makan. “Apalagi, merokok jelas pemborosan. Uang untuk rokok Bapak semestinya untuk belanja yang lebih penting."

Emosi Parjo pun memuncak. Tetapi ia berusaha mengendalikan diri. "Bu, uang penghidupan kita, ya, aku juga yang cari. Kalau aku tidak merokok, aku akan kehilangan semangat untuk bekerja. Kalau aku tidak bekerja, bukan hanya ongkos rokokku yang tidak ada, tetapi juga uang belanja Ibu."

Sang istri sontak melengos. "Alasan Bapak saja. Kalau Bapak mau berhenti karena memedulikan keadaan kita sekeluarga, ya, Bapak pasti bisa berhenti," singgungnya. "Lagi pula, penghasilan Bapak itu pas-pasan. Bapak bukan pejabat yang pantas menyia-nyiakan uang dengan merokok."

Merasa direndahkan sebagai tulang punggung keluarga, Parjo bungkam dan memilih menghentikan perdebatan. Ia lantas keluar rumah dan berangkat menuju ke lokasi kerjanya dengan sepeda motor.

Sepanjang perjalanan, Parjo terus mengutuki istrinya. Ia merasa kalau sang istri tidak lagi menghormatinya gara-gara rokok. Padahal menurutnya, rokok tidak selamanya berpengaruh negatif terhadap persoalan kesehatan dan perekonomian. Buktinya, pemilik rumah yang sedang ia kerjakan adalah orang kaya yang tampak bugar di usia lanjutnya, meski ia adalah seorang perokok.

Sebaliknya, Hamdi, seorang temannya sesama buruh bangunan, malah memiliki kondisi tubuh yang lemah, meski ia telah lama berhenti merokok. Lelaki itu kerap batuk-batuk dan lekas kecapaian. Pun, perekonomiannya pas-pasan. Ia hidup dengan sangat sederhana. Bahkan Parjo merasa kalau ia lebih sejahtera.

Atas anggapannya tersebut, Parjo pun bertekad untuk terus merokok agar tetap giat mencari uang. Ia ingin membuktikan pandangannya kepada sang istri kalau merokok malah berdampak positif. Karena itu, sejak perjalanannya menuju tempat kerja, ia tetap saja menyambung rokoknya sambil mengemudikan sepeda motor.

Sampai akhirnya, setelah melintasi sebuah lorong, ia pun tiba di depan sebuah rumah yang tampak berjarak dari rumah yang lain. Rumah itu merupakan milik Hamdi, teman kerjanya tersebut, yang setiap pagi ia jemput untuk berangkat kerja bersama-sama. Seorang mantan perokok yang tak pernah bosan menasihatinya agar berhenti merokok dengan alasan yang itu-itu. Seorang duda yang telah ditinggal mati istrinya, tanpa seorang anak pun.

Sesaat kemudian, ia lantas memarkirkan sepeda motornya di halaman samping rumah itu, tepat di bawah pohon rambutan. Ia lantas membuang jauh puntung rokoknya ke sisi depan, lantas berseru, "Hamdi... Ayo, cepat... "

"Tunggu sebentar," balas Hamdi dari dalam rumahnya.

Akhirnya, sambil menunggu, Parjo pun berkehendak untuk kembali merokok. Tetapi sial, tanpa ia kira, sebungkus rokoknya telah habis.

Untungnya, Hamdi lekas keluar dengan raut semringah. "Tumben kau tidak merokok. Apa kau sudah tobat?"

Parjo sontak mendengkus sinis. "Tak ada kata tobat untuk merokok. Aku hanya jeda karena rokokku habis. Nanti aku sambung lagi."

Hamdi pun tergelak pendek, lalu kembali melontarkan nasihat singgungan, “Kasihanilah kondisi kesehatanmu dan isi dompetmu, Saudara."

Tetapi seperti biasa, Parjo cuek saja. Ia lantas menyalakan sepeda motornya dan kembali melaju. Sepanjang perjalanan, mereka pun saling mendiamkan di tengah suara sepeda motornya yang bising.

Tak lama berselang, mereka tiba di tempat kerja. Dengan arahan tukang dan pantauan mandor, mereka bersama tiga buruh lainnya mulai bekerja. Mereka terus mengaduk, mengangkut, dan memasang campuran dengan telaten. Mereka melakoninya tanpa merisaukan cahaya matahari yang perlahan menyengat.

Semangat mereka memang tengah menggebu-gebu. Itu karena sore nanti, mereka akan mendapatkan sebagian upah mereka setelah sepertiga target kerja mereka tercapai. Dan untuk itu, Parjo telah berencana untuk membeli satu pak rokok andalannya. Ia ingin menyenangkan dirinya atas hasil kerja kerasnya sendiri.

Tetapi ketika pagi belum juga lewat, ponsel Hamdi terdengar berdering. Hamdi pun menjawabnya dengan raut serius: Apa?; Kau tidak bercanda, kan?; Kenapa bisa terjadi?; Oke, baiklah, aku segera pulang.

"Apa yang terjadi?" tanya Parjo segera.

"Rumahku kebakaran," terang Hamdi.

Sontak, Parjo tersentak hebat.

"Antar aku pulang," pinta Hamdi, dengan raut penuh kekhawatiran.

Parjo pun mengangguk.

Akhirnya, setelah meminta izin kepada tukang dan mandor, mereka lantas pulang dengan bayangan-bayangan yang mengerikan di benak mereka masing-masing. Mereka pulang dengan setiran sepeda motor Parjo yang melaju cepat.

Beberapa lama kemudian, mereka sampai dengan perasaan pilu. Mereka sudah terbambat. Api nyaris menyelimut rumah semi permenan berdinding kayu tersebut. Bahkan para warga tampak telah menyerah untuk melakukan pemadaman dengan alat seadanya, sedang mereka pun tak bisa berharap pada pemadam kebakaran yang bermarkas di tempat yang jauh.

Hamdi lantas menangis menyaksikan kemalangannya.

"Sabarlah. Pasti ada hikmah di balik musibah ini," nasihat Parjo, sekenanya.

Isakan Hamdi malah makin menjadi-jadi. Sampai akhirnya, ia mengungkapkan hal paling memilukan perasaannya, "Ah, habislah sudah tabungan hajiku yang telah kukumpulkan sekian lama."

Seketika, Parjo terenyuh. Ia tak menyangka kalau kawannya itu telah menyisihkan pendapatannya untuk menunaikan haji. Tetapi ia tak bisa apa-apa juga selain terus melontarkan kata-kata penenang. “Sabarlah. Kalau kau bersabar, aku yakin Tuhan akan segera mengganti semua yang telah hilang darimu dengan hal yang lebih baik.”

Hamdi hanya bergeming dan terus mengurai air matanya.

Akhirnya, beberapa waktu kemudian, dengan penuh penasaran, Parjo menghampiri seorang tetangga dekat Hamdi yang telah mengabarkan peristiwa nahas tersebut. "Bagaimana kebakaran ini bisa terjadi, Pak?

Lelaki itu mengangkat bahu. "Aku sendiri pun tak tahu pasti."

"Apa ada terdengar ledakan sebelum kebakaran?" selidik Parjo.

Lelaki itu menggeleng.

"Lalu, kalau Bapak lihat, kira-kira, dari mana api pertama kali muncul?" selisik Parjo.

"Barangkali di sisi samping. Di sekitar situ," terang sang lelaki, kemudian menunjuk pada sebuah titik. “Api tampak berkobar dari situ.”

Sontak, Parjo terkejut. Bagaimanapun, ia telah membuang puntung rokoknya pada titik yang dimaksud.

Akhirnya, Parjo kehilangan hasrat untuk membeli sepak rokok selepas gajian sore nanti. Ia bahkan mulai berpikir untuk tidak lagi membeli rokok, lantas menyisihkan pendapatannya untuk membantu Hamdi.***


TAGS :

Ramli Lahaping

Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis blog (sarubanglahaping.blogspot.com). Telah menerbitkan cerpen di sejumlah media daring. Bisa dihubungi melalui Twitter (@ramli_eksepsi) atau Instagram (@ramlilahaping).

Komentar