Mereka Telah Memberi Kami Tanah

  • By Maestro Simanjuntak
  • 16 Januari 2022
Pexels

Cerpen Juan Rulfo

Setelah berjalan selama berjam-jam tanpa menemui bahkan bayangan sebuah pohon pun, bahkan tidak biji sebuah pohon pun, bahkan tidak akar dari apa pun, kau bisa mendengar anjing-anjing mengonggong. Kadang kau mungkin akan berpikir, di tengah jalan tak bertepi ini, tidak akan ada apa-apa; bahwa kau tidak akan menemukan apa pun di sisi lain, di ujung dataran yang terbelah dengan retakan-retakan dan kanal-kanal kering.

Tetapi ya, terdapat sesuatu. Ada sebuah desa. Kau bisa mendengar anjing-anjing mengonggong dan mencium bau asap di udara, serta menikmati aroma orang-orang bagaikan sebuah harapan. Namun desa itu masih jauh. Anginlah yang membawanya mendekat. Kami telah berjalan sejak subuh. Saat ini sekitar pukul empat sore. Seseorang menengadah ke langit, mengarahkan pandangannya menuju tempat matahari menggantung, lalu berkata:

“Sekitar jam empat?”

Seseorang itu adalah Meliton. Bersama dengannya adalah Faustino, Esteban, dan aku. Kami berempat. Aku menghitung mereka: dua di depan, dua di belakang. Aku bahkan melihat lebih jauh ke belakang dan tidak melihat orang lain. Lalu aku berkata pada diriku: “Kami berempat.” Sesaat sebelumnya, sekitar jam sebelas, terdapat lebih dari dua puluh orang; namun sedikit demi sedikit mereka telah menyebar hingga hanya tersisa kelompok kecil kami.

Faustino berkata: “Mungkin akan turun hujan.”

Kami semua menengadah untuk melihat awan hitam pekat melintas di atas kepala kami. Dan kami berpikir: “Mungkin saja.”

Kami tidak mengatakan apa yang kami pikirkan. Kami kehilangan keinginan untuk berbicara belum lama berselang. Kami kehilangannya karena terik. Kau akan dengan senang hati berbicara di tempat lain, namun akan sulit di tempat ini. Kau berbicara di tempat ini dan kata-kata berubah menjadi panas di dalam mulutmu karena terik dari luar, dan mereka kering pada lidahmu sampai napas keluar.

Begitulan keadaan di sini. Sebab itulah tidak seorang pun yang mau berbicara. Setetes air terjatuh, besar, gemuk, menyebabkan sebuah lubang di tanah dan meninggalkan sebuah gumpalan seperti air ludah. Turun setetes. Kami menunggu yang lain turun. Tidak hujan. Sekarang bila kau menatap langit, kau bisa melihat awan badai di kejauhan, bergegas, tergesa-gesa.

Angin dari desa menerpanya, mendorongnya ke bayang-bayang biru pegunungan. Dan setetes yang tidak sengaja terjatuh dilahap oleh bumi, yang menghilang menuju kedahagaannya. Orang macam apa yang membuat dataran seluas ini? Apa gunanya, eh?

Kami kembali melangkah. Kami telah berhenti untuk melihat hujan. Ternyata tidak hujan. Sekarang kami mulai berjalan lagi. Dan kupikir kami telah melintasi lebih banyak daripada tanah yang kami miliki. Terpikir olehku, bila saja hujan turun, mungkin hal-hal lain akan terjadi padaku. Di atas segalanya, aku tahu semenjak aku kanak-kanak, aku tidak pernah melihat hujan turun di dataran, apa yang kau sebut sebagai hujan.

Tidak, dataran ini tidak mempunyai manfaat apa pun. Tidak ada kelinci mau pun burung. Tidak ada apa-apa. Kecuali beberapa pohon Huizache serta satu atau dua rumput Zacate dengan dedaunan mereka yang keriting; selain itu, tidak ada apa-apa. Dan di sinilah kami sedang melangkah. Kami berempat berjalan kaki. Sebelumnya kami mengendarai kuda dan menyandang sebuah senapan. Sekarang kami bahkan tidak mempunyai senapan.

Aku selalu berpikir bahwa menyita senapan adalah hal yang bagus. Adalah berbahaya untuk membawa senjata di sekitar sini. Kau bisa dibunuh tanpa peringatan bila mereka melihatmu dengan “si 30” tersandang. Namun soal kuda beda cerita. Bila saja kami datang mengendarai kuda, kami pasti sudah meminum air hijau sungai serta menjajarkan perut kami melintasi jalanan pedesaan agar makanan turun. Kami pasti sudah melakukan semua itu bila saja kami masih memiliki kuda kami. Namun mereka menyita kuda-kuda kami bersama dengan senapan .

Aku mengedarkan pandangan dan melihat dataran. Keluasan yang tidak berarti. Matamu menggeranyangi semuanya tanpa ada apa pun yang menghambat. Hanya beberapa kadal mengintip ke luar dari lubang-lubang mereka, dan setelah mereka merasakan matahari membakar, mereka lari bersembunyi di bawah bayangan sebuah batu kecil. Tetapi kami, di saat kami harus bekerja di sini, apa yang akan kami lakukan untuk menyejukkan diri dari matahari, eh? Sebab kami telah diberikan bidang-bidang tanah ini untuk ditanami.

Mereka memberitahu kami: “Mulai dari desa sampai ke sini, semuanya milik kalian.”

Kami bertanya: “Datarannya?”

“Ya, datarannya. Seluruh dataran yang luas.”

Kami berhenti seketika, seolah mengatakan kami tidak menginginkan dataran itu. Apa yang kami inginkan adalah di sebelah sungai. Mulai dari sungai sampai kanal-kanal, dimana kau menemukan pepohonan yang dinamai Casuarinas dan Paraneras dan tanah yang subur. Bukan kulit sapi keras yang disebut sebagai dataran. Namun kami tidak diijinkan untuk mengatakan hal-hal tersebut. Sang agen tidak datang untuk berbicara dengan kami. Dia meletakkan dokumen di tangan kami dan berkata pada kami: “Jangan takut karena mempunyai tanah yang begitu luas hanya untuk dirimu.”

“Tapi itu hanyalah dataran, señor delegado . . .

“Terdapat ribuan dan ribuan petak tanah.”

“Tetapi tidak ada air. Bahkan tidak seseuap pun.”

“Dan musim hujan? Tidak ada yang mengatakan kau akan diberikan tanah irigasi. Begitu hujan turun, jagung akan tumbuh seakan ditarik ke luar.”

“Tetapi, señor delegado, tanah terkikis dan keras. Kami tidak percaya bajak akan menembus bebatuan tambang dataran. Untuk menanam benih, kami harus membuat lubang dengan beliung, bahkan itu pun tidak menjamin segalanya akan tumbuh, jagung atau apa saja tidak akan tumbuh.”

“Tuliskan semua itu. Dan sekarang pergilah. Harusnya kau mengecam para pemilik lahan, bukan pemerintah, yang telah memberikanmu lahan.”

“Tunggu, señor delegado. Kami tidak mengatakan apa-apa mengenai pemerintah pusat. Segala hal mengenai dataran...Kau tidak bisa melakukan apa pun mengenai apa yang tidak bisa kau lakukan. Itulah yang sudah kami katakan..Tunggu supaya kami bisa menjelaskannya padamu. Dengar, mari kita mulai dari awal...”

Namun dia tidak mau mendengar.

Begitulah cara mereka memberikan kami tanah. Dan pada penggorengan panas tersebut mereka ingin kami menanam benih-benih dari sesuatu, untuk melihat bila sesuatu akan mengakar dan tumbuh. Namun tidak akan tumbuh apa pun di sini. Bahkan tidak burung pemangsa. Sering sekali kau mengenali mereka, amat tinggi, terbang cepat; mencoba keluar secepat mungkin dari kawasan putih yang mengeras ini, dimana tidak ada yang bergerak serta di mana kau berjalan dan seakan berjalan mundur. 

Meliton berkata: “Ini adalah tanah yang mereka berikan pada kita.”

Faustino berujar: “Apa?”

Aku tidak mengatakan apa-apa. Aku berpikir: “Pikiran Meliton tidak berada pada tempatnya. Sudah pasti teriklah yang menyebabkan dia mengatakan semua ini. Terik telah menembus topinya dan memanggang kepalanya. Dan bila tidak begitu, mengapa dia mengatakan apa yang dia katakan? Tanah apa yang mereka berikan pada kita, Meliton? Bahkan tidak ada tanah yang cukup bagi angin untuk menerbangkan awan debu di sini..”

Meliton kembali melanjutkan: “Seharusnya bermanfaat. Mungkin saja bagus untuk mengembang-biakkan kuda.”

“Kuda apa?” tanya Esteban.

Aku tidak terlalu memperhatikan Esteban. Saat ini setelah dia berbicara, aku melihat ke arahnya. Dia mengenakan jaket yang menutupi sampai pusarnya, dan di bawah jaket sesuatu yang tampak seperti seekor ayam betina mengintip ke luar.

Ya, itu adalah seekor ayam betina merah, Esteban memilikinya di balik jaketnya. Kau bisa melihat mata mengantuknya dan paruh terbuka, seolah sedang menguap.

Aku bertanya padanya: “Hey, Teban, darimana kau mengambil ayam itu?”

“Ini milikku,” ucapnya.

“Kau tidak memilikinya sebelumnya. Dimana kau membelinya, eh?”

“Aku tidak membelinya, ini adalah ayam peliharaanku.”

“Kalau begitu kau membawanya untuk kami makan, bukan begitu?”

“Tidak, aku membawanya untuk menjaganya. Rumahku telah kosong dan tidak ada yang akan memberinya makan; oleh sebab itu aku membawanya. Aku selalu membawanya di saat pergi jauh.”

“Ayam itu akan mati lemas bila dijejalkan seperti itu. lebih baik mengeluarkannya untuk memberinya udara segar.”

Dia menempatkan ayam itu di bawah lengannya dan meniupkan udara hangat padanya. Kemudian dia berkata: “Kita sudah sampai di jurang.”

Aku tidak lagi mendengar apa yang Esteban sedang katakan. Kami telah membentuk sebuah barisan untuk menuruni jurang, dan dia berada paling depan. Aku melihat dia memegangi paha ayam dan sering mengayunkannya sehingga si ayam tidak membenturkan kepalanya pada bebatuan.

Selagi kami menuruni jurang, kondisi tanah berubah menjadi baik. Debu membubung seolah kereta bagal sedang menuruni jurang; namun kami suka dilingkupi debu. Kami menikmatinya. Setelah menjejak-jejak di atas dataran kering selama sebelas jam, kami merasa amat senang diselubungi benda ini yang berlompatan di sekitar kami dan rasanya seperti lumpur.

Di permukaan sungai, di puncak hijau cemara Casuarinas, kawanan-kawanan chachalacas beterbangan. Kami juga menyukainya. Sekarang kau bisa mendengar anjing-anjing menggonggong, tidak jauh dari kami, dan sebab hembusan angin dari desa berputar-putar di ngarai, memenuhinya dengan berbagai suara.

Esteban sekali lagi merangkul ayam betinanya selagi kami mendekati perumahan pertama. Dia melepaskan ikatan pada paha ayam agar menghilangkan kelumpuhannya, lalu kemudian dia dan ayam betinanya menghilang di belakang pepohonan tepemezquite.

“Dari sini aku akan berangkat!” Esteban memberitahu kami.

Kami lanjut ke depan, lebih jauh lagi menuju desa.

Tanah yang telah mereka berikan pada kami masih jauh di depan.


TAGS :

Maestro Simanjuntak

Maestro Simanjuntak

Komentar