Hidayah di Ujung Sya’ban

Pexels_Konevi

Tubuh Minah tergolek lemas. Dia tak punya tenaga. Rupanya usia telah menggerogoti kekuatan yang sudah hampir 80 tahun digunakan. Dulunya Minah merupakan wanita perkasa. Dia mampu mengerjakan pekerjaan laki-laki. Minah bisa mengelola sawah, kebun, dan lain-lain yang biasanya dikerjakan suaminya. Pekerjaan berat ini dilakukan semenjak suaminya meninggal dunia akibat asma.

Kulitnya keriput. Rambutnya memutih. Giginya tersisa di bagian depan saja. Itu pun sudah tidak sekokoh sebelumnya. Apabila dia menginginkan makanan yang agak keras, anak perempuan Minah melembutkan makanan tersebut terlebih dulu. Makanan yang telah dilembutkan  itu kemudian disuapkan perlahan-lahan oleh anak perempuan satu-satunya. Minah merasakan dan menikmati makanan melalui suapan anak yang selama ini merawatnya.

Hampir tiga bulan lamanya Mbok Minah terkulai di ranjang. Dia merasakan sakit di punggung hingga tembus dada. Minah mengandalkan bantuan anak perempuan itu untuk sekadar bisa duduk. Itu pun tidak bertahan lama karena punggungnya tidak mampu menahan beban tubuhnya. Dia ingin berbaring. Sekali lagi dia juga tidak mampu berbaring sendiri. Minah menunggu anak yang dianggap gemati padanya itu membaringkannya.

”Kakakmu di mana?” tanya Minah lirih.

”Dia kerja ke luar kota,” jawab anak perempuannya.

”Lama sekali dia tidak pulang?” sambung Minah.

”Tidak usah dipikirkan. Kakak sudah dewasa dan bisa menjaga diri. Kalau sudah menyelesaikan pekerjaannya, kakak pasti pulang,” hibur Suci agar si ibu tidak selalu memikirkan anak laki-lakinya.

Sebetulnya Minah memiliki empat anak. Anak sulungnya laki-laki. Dia sudah menikah dan dikaruniai dua anak. Anak pertama tersebut meninggal dunia dan dimakamkan di perantuan. Anak kedua laki-laki dan sudah menikah pula. Dia dikaruniai satu orang anak. Namun, anak keduanya menetap di luar kota. Anak ketiga juga laki-laki. Saat ini dia tinggal di luar kota juga dan telah memiliki tiga anak. Anak keempat Minah atau si bungsu berjenis kelamin perempuan. Namanya Suci. Dia memunyai tiga anak. Dia tinggal satu rumah dengan Minah. Anak perempuan satu-satunya inilah yang setiap hari merawat dan memenuhi semua kebutuhan Minah.

Pagi buta ketika orang-orang masih tidur, Suci sudah bangun. Dengan masih menahan rasa kantuk, Suci mengerjakan pekerjaan dapur. Dia harus bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan buat ibu, anak-anak, dan suaminya yang berprofesi sebagai guru. Suami dan anak-anaknya biasanya berangkat ke sekolah pada pukul enam pagi. Maka dari itu, Suci harus bangun pagi-pagi untuk menyelesaikan semua pekerjaan dapur sebelum jam tersebut.

Di sela-sela kesibukan menyiapkan sarapan pagi, Suci mengerjakan tugas baru sebagai anak yang berbakti kepada orang tua. Dia membantu ibu bangun tidur dan membersihkan semua kotoran yang belepotan di selimut ibunya. Suci tidak merasa jijik. Kedua tangannya sigap membersihkan kotoran yang menempel di selimut dan di tubuh ibunya. Dia membopong tubuh kurus Mina ke kamar mandi. Suci memandikan dan menyucikan Mbok Minah dari najis kemudian membantu ibunya melaksanakan salat shubuh sembari berbaring di ranjang.

”Pak, sarapan pagi sudah siap. Silakan makan agar tidak telat sampai sekolah,” seru Suci pada sauminya yang masih duduk dan berkutat di depan kaptop.

”Siap, Bu,” sahutnya.

Begitulah keseharian yang dijalani oleh Suci. Dia sendirian mengurusi ibu dan kebutuhan keluarga.

”Kakakmu di mana?” tanya Minah mengulang pertanyaan-pertanyaan sebelumnya.

Suci tidak segera menjawab. Dia kesal mengamati sikap kakak yang dimaksud ibunya karena tidak punya rasa peduli sedikit pun pada Minah. Lambat laun Suci tidak tega melihat air muka ibunya yang gelisah. Raut muka Minah melukiskan kesedihan mendalam. Ada rasa cemas menggerogoti jiwanya setiap kali menanyakan anak ketiga ini.

”Bu, jangan memikirkan kakak. Dia bisa menjaga diri,” kata Suci mengulang kata yang pernah diucapkan sebelumnya.

Suci sebenarnya geregetan setiap kali ibunya menanyakan kakaknya itu. Dia menyesalkan sikap sang kakak tidak pernah memedulikan ibunya. Jangankan membantu ibu membangunkan dari tempat tidur, menanyakan kabar saja tidak pernah, gerutu Suci. Padahal, kakak yang satu ini setiap hari di rumah dan beberapa kali melintas di depan kamar ibu. Namun, dia menoleh untuk melihat ibu sekali saja tidak pernah. Sikap kakaknya seperti itulah yang paling dibenci oleh Suci.

”Itu tadi yang baru saja lewat siapa?” Minah sempat melihat sekelebat bayangan anak emasnya dari kaca almari.

”Tidak ada siapa-siapa,” jawab Suci membohongi ibunya. Hal ini terpaksa dilakukan agar ibu tidak semakin merana karena dicueki oleh kakaknya.

Mata Minah berkaca-kaca setelah mendengar jawaban Suci. Dia merasakan seperti ada yang ditutup-tupi mengenai kakaknya. Wajah Minah menggoreskan kegelisahan dan kesedihan. Dia menyedihkan kenapa anak-anaknya tidak ada yang memedulikannya ketika dalam kondisi sakit seperti yang dialami saat ini.

”Jangan khawatir, Bu! Saya siap merawat dan mengurus Ibu sehari semalam,” hibur Suci.

”Aku sedih saat pagi. Kamu dan suamimu ke sekolah. Aku sendiri di rumah,” keluh Minah pada Suci yang juga seorang guru TK.

”Semua kebutuhan Ibu sudah saya siapkan. Kalau ingin buang air, di sini saja. Ibu tidak usah ke kamar mandi. Nanti biar saya bersihkan ketika pulang,” saran Suci sambil menunjuk ke ember yang diletakkan di bawah ranjang.

Minah diam. Tatapan matanya kosong meskipun Suci telah berjanji merawat dan mengurusnya. Dia tetap memikirkan dan menyedihkan anak ketiganya. Anak gandolan ing ati atau anak emas itu sampai saat ini belum pernah menjenguk atau menanyakan kondisi ibunya. 

Di ujung bulan Sya’ban suasana agak berbeda. Guncangan dalam jiwa Mbok Minah mereda. Kata-kata yang keluar dari mulutnya melandai. Tak ada ungkapan kecewa atau sakit hati pada anak yang dianggapnya tak punya niat balas budi. Dia sadar bahwa harapan mendapat balas jasa dari anak itu tidak tepat. Hal ini dikarenakan merawat dan mengasuh anak sudah menjadi kewajiban orangtua. Lebih-lebih sosok ibu. Mbok Minah telah mengikhlaskan apa yang pernah dilakukan kepada anak-anaknya.

”Aku ikhlas. Aku tak mengharapkan imbalan apa-apa dari kalian. Semoga anak-anakku menjadi anak yang berbakti kepada kedua orangtua agar kelak anak-anaknya juga melakukan hal yang sama. Aku rela,” kata lirih Minah saat Suci menyuapinya.

Suci sangat lega mendengar kata-kata sang ibu. Dia meyakini kondisi ibunya akan memulih lantaran hati dan pikiran tidak terbebani dengan harapan balas budi anak ketiganya. Perkataan ibunya tidak sekeras sebelum-sebelumnya. Emosi juga terkontrol. Ini sangat membantu Suci saat memberikan asupan makanan dan nutrisi kepada ibunya.

”Makan dan minum secukupnya agar tenaga cepat pulih dan kuat sehingga besok bisa melaksanakan puasa,” pinta Suci sambil menyuapkan nasi kepada ibunya.

”Kapan mulai puasa?”

”Besok pagi,” jawab Suci.

Senja bulan Sya’ban Allah telah membuka hati anak ketiga Mbok Minah. Allah telah memberi hidayah dan menuntun lelaki beranak tiga itu datang ke rumah. Tubuh tinggi besar dan berotot kekar dengan rambut berkuncir datang bersama istri dan ketiga anaknya. Dia masuk rumah dengan gaya biasanya, sluman-slumun-slamet. Istri dan anak-anaknya mengiringi di belakang. Mereka serempak mengucap salam lalu disahut Suci serta Mbok Minah dari dalam kamar.

Suci  menyambut kakak perempuan ipar beserta para keponakannya. Dia mengarahkan para keponakan menjenguk nenek dalam kamar. Anak-anak yang lugu itu menghampiri dan meraih tangan kanan si nenek. Mereka bersalaman. Para cucunya mencium tangan kanan neneknya, sedangkan Mbok Minah membelai kepala cucu-cucunya yang lugu itu.

Tak berselang lama anak ketiganya bersama istri berdiri di pintu kamar. Sang anak yang selama ini menjadi beban pikiran Minah menghamburkan diri ke tubuh Minah yang terbaring di ranjang. Lelaki itu mendekap tubuh ringkih ibunya sambil menangis. Dia memohon maaf atas ketidakpedulian yang selama ini dilakukan pada sang pemilik surganya. Lelaki itu menyesal karena tidak mengacuhkan ibu. Dia sadar bahwa itu adalah kekeliruan terbesar dalam hidupnya. Dia berharap sang ibu memberi maaf dan ridlo atas kesalahan yang dilakukan.

Suci dan kakak perempuan iparnya berdiri mematung di sebelah ranjang. Mereka terharu melihat peristiwa itu. Mata Suci berkaca-kaca. Sedetik kemudian air matanya mengalir melintasi pipi yang dibiarkan polos tanpa bedak ini. Suci melepas napas panjang. Dia merasa lega dan bangga karena kakaknya telah menyadari kesalahannya.

Matahari senja semakin menjingga. Sinarnya berubah kuning keemasan. Hembus angin tak sekencang sebelumnya. Angin memberi kesempatan malam menyapa siang. Perlahan si raja siang perlahan undur diri di balik rerimbunan rumpun bambu. Saat itu juga, Mbok Minah bangkit dari pembaringan panjangnya. Dia duduk dan menyaksikan anak-anak, menantu, dan para cucu berwudlu untuk persiapan menunaikan salat maghrib secara berjamaah. (*)

 

  Wanar, Maret-April 2022


TAGS :

Ahmad Zaini

Penulis ini lahir di Lamongan, 7 Mei 1976. Beberapa karya sastranya termuat di beberapa media cetak dan online. Penerima penghargaan dari gubernur Jawa Timur sebagai pemenang GTK Creatif Camp (GCC) Jawa Timur 2021. Buku kumpulan cerpen terbarunya berjudul Lorong Kenangan. Saat ini tinggal di Wanar, Pucuk,  Lamongan, Jawa Timur.

Komentar