“Layar”: Bentang Layar Hitam Gayatri Mantra

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 01 Oktober 2022

Membaca cerpen-cerpen Gayatri Mantra dalam antologi cerpennya Layar diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi, Tabanan, Bali, April 2017 sepertinya membentangkan layar-layar derita perempuan, layar percintaan yang tumbuh di antara aktivis, perempuan yang berani menjaga hati nuraninya sebagai seorang ibu, dan juga haus kekuasaan. Cerpen-cerpen Gayatri Mantra dalam kumpulan ini antara lain Purusa, Gaun Merah di Ujung Malam, Layar, Bakao, Sang Pematung, Wanita Sejati, Sandikala, Bayiku, I Merah, Bulu-bulu Angsa, Ray dan Sebentuk Wajah, Padang Savana, Kori, Koin, Rahim Peradaban, Sang Prabhu, Celana Dalam, Tidak Perawan Lagi, Megalomanius, dan Laskar Bayangan hampir semuanya pernah dimuat di media massa.

Gayatri Mantra lebih tertantang dengan problematika perempuan. Perempuan-perempuan yang seakan-akan tidak mendapatkan penghargaan apalagi penghormatannya sebagai seorang perempuan. Harkat dan martabat perempuan belum dihargai. Kritik ataupun pandangan Gayatri Mantra terhadap keberadaan perempuan terekam dalam antologi ini. Uniknya Gayatri Mantra seakan-akan memberikan sebuah jalan keluar agar bisa bercermin diri. Lahirlah beberapa ungkapan kata yang berkaitan dengan kata cermin. Cermin seakan-diberikan makna tersendiri bagi Gayatri Mantra. Cermin melihat sisi positif maupun sisi negatif bagi sebuah perjalanan manusia dengan kemanusiaannya.

            Antologi ini diawali dengan cerpen Purusa. Sebuah cerpen yang dimulai dengan konflik yang hampir keseluruhan tubuh cerpen menggunakan dialog. Teknik ini menuansakan kecepatan dengan ruang gerak yang terus meninggi. Pada akhir cerpen barulah diungkapkan tentang keberadaan tokoh. Jika dikembangkan cerpen ini bisa seperti sebuah monolog. Pada akhir cerpenlah baru ditemukan makna purusa bagi Gayatri. Sederhananya seseorang hendaknya harus bisa menghormati dan bertanggung jawab terhadap yang dilakukan. Hal ini dirasakan oleh Gayatri Mantra belum dijalankan oleh manusia dengan kemanusiaannya. Memandang seseorang dari satu sisi saja. Kritiknya cukup tajam perhatikanlah kutipannya:... Bukankah lelaki terhormat seperti dirimu sepantasnya memberikan jalan bagi kemuliaan jiwa yang lahir sebagai penebusan dosamu sendiri? Rupanya kau takut lagi pada kutukan? Maaf, itu bukan kata-kataku! Itu yang mereka ajarkan dan kita berdua meyakininya, bukan? Nikahi saja wanita itu! Aku memikirkan anak yang akan lahir. Anak, bukankah itu lebih baik daripada memberinya gelar hina sebagai bebinjat? Jika itu benar anakmu, bukankah dengan demikian kau hinakan dan rendahkan martabat darah dagingmu sendiri? Bukankah begitu?” Tapi, ia hanyalah pelacur!” (hlm. 3)

            Gayatri Mantra mengharapkan  ketegasan dan keberanian dalam mengambil sebuah keputusan bukan kepura-puraan atau sok suci. Perhatikan jawaban Widura (tokoh anggota dewan yang terhormat) di atas, “Tapi, ia hanyalah pelacur!” dengan tanda seru. Ini menandakan betapa egonya tokoh Widura di atas yang notabene (tokoh anggota dewan yang terhormat). Merendahkan martabat seorang perempuan sebenarnya merendahkan martabat dirinya sebagai laki-laki.

            Daya ungkap Gayatri Mantra tentang perempuan akan lebih terlihat dalam cerpen Layar (hlm. 14). Bentang layar hitam perempuan tersurat seperti ini: ...Karti menyesali kesialan yang menimpa, datang bertubi-tubi. Tiba-tiba ia menyadari dirinya. Tak ada yang mengenali ketakutan, kesepian, dan kecemasannya. Janin dalam rahimnya akan lahir dan tumbuh besar. Karti tak tahu apa-apa yang harus dilakukannya. Supena tak mungkin membantunya. Dan Jaka telah mati. Ia sendirian (hlm. 17). Cerpen ini memang agak unik pelukisan tokoh Karti yang hamil karena Jaka dan justru bersuamikan Supena yang membunuh Jaka. Ada nilai kemanusiaan yang dipancarkan oleh Gayatri dalam tokoh Karti bahwa anak itu tidak ada salahnya. Tokoh Karti dengan kesetiaannya menjaga janinnya hingga lahir yang diberi nama Samudra. Pelukisan Karti perempuan hitam (hlm 18) yang tetap memiliki hati nurani keibuan untuk menjaga anak kandungnya. Bagi perempuan Karti, siapa pun ayah di rahimnya tidaklah penting. Yang terpenting adalah ruh yang lahir menjadi anak kandungnya. Cerpen ini senada dengan cerpen Purusa.

            Penghargaan seorang istri bisa dibaca dalam cerpen Sang Pematung. Seorang istri yang berharap agar dirinya bisa hamil. Sang istri memuja Men Brayut, Dewi Kesuburan. Istri yang tidak ingin suaminya dilecehkan karena tidak bisa memberinya keturunan: ...”O Hyang Betari, berikan aku kesempatan menjadi seorang ibu. Berikan aku anak yang kulahirkan dari rahimku. Berikan aku kecerian anak-anak di dalam rumah kami dan tawanya akan memberikan nada baru dalam hidup kami. Ya, Ibu, aku akan berikan apa  pun yang kau inginkan engkau dapat berikan aku benih yang bisa kukandung. Aku berjanji untuk memelihara pemberianmu dengan baik. O, Ibu! Selamatkan perkawinanku dengan kehadiran anak-anak itu! Aku sangat mencintai suamiku. Jangan biarkan oran-orang menghina suamiku karena mereka menuduhku mandul!” (hlm 29)

            Cerpen Sang Pematung mengisyaratkan betapa kesedihan ada dalam diri seorang perempuan karena belum mampu memberikan keturunan. Cinta yang mempersatukannya seakan-akan lebih kuat karena kehadiran seorang anak. Usahanya sampai memohon kepada Dewi Kesuburan (Men Brayut). Cerpen ini mengombinasikan antara mitos dengan kisah-kisah sosial hingga menarik untuk dibaca. Cerpen padat dengan nada kesedihan seorang perempuan.

            Transeksual  bisa ditemukan dalam cerpen Wanita Sejati (31). Dalam cerpen ini Gayatri Mantra membentangkan problematika kejiwaan dari seorang anak yang ternyata ibunya seorang yang transeksual. Gayatri melihat ketertekanan dalam diri seorang anak. Tidak melihat kondisi kejiwaan dari tokoh yang melakukan transeksual. Jika problematika juga dihadapi oleh tokoh yang menjadi ibunya akan semakin menantang untuk dibaca. Tampaknya Gayatri Mantra hanya melihat dari satu sisi kejiwaan sang anak saja.

            Cerpen kritik sosial tokoh yang haus kekuasaan dapat dinikmati dalam cerpen Sang Prabhu (hlm. 89). Gambaran tokoh yang selalu lapar. Lapar kekuasaan, lapar fisik, dan lapar-lapar lain: Sejak Prabhu dicekam penyakit lapar yang aneh, istana menjadi kalang kabut, ini terjadi sudah cukup lama. Para koki istana tidak mampu menyajikan hidangan terlezat apapun, karena Sang Prabhu tak ingin menelan apa pun. Tabib istana telah berusaha mengobati penyakit lapar itu. Tapi tak satu pun yang sangup menjadi obat untuk penyakit itu. Sang Prabhu semakin lemah dan kondisinya makin memprihatinkan (hlm. 94).

            Layar hitam membentang dalam sisi-sisi kehidupan manusia. Manusia dengan kemanusiaannya digali dan dihayati dengan cukup indah oleh Gayatri Mantra. Gayatri Mantra dengan ketajaman kreatifnya melihat problematika sosial. Layar-layar kehidupan terkadang dilupakan. Akan tetapi, Gayatri Mantra menjadikannya sebuah kisah yang menarik. Kisah hidup dalam diri yang dekat dengan hidup kemanusiaan.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar