Perempuan Perangkai Ilalang

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 05 Oktober 2022
internet

Semenjak bukit di samping rumahnya dikeruk, perempuan itu membisu. Ia tak mau berbicara sepatah kata pun. Mulutnya seakan terkunci. Bulir air matanya satu demi satu membasahi pipinya yang termakan usia. Ia pandangi ilalang di bukit itu hilang bersama derunya buldozer. Deru mesin itu terasa beradu dengan ibu bumi.

          Ia dikenal sebagai perempuan perangkai ilalang. Tangannya cekatan saat merangkai ilalang. Ilalang adalah jiwanya. Ilalang yang tumbuh subur di bukit itu menjadi satu-satunya penghidupannya. Di pagi hari, ia pandangi butiran embun bening di ujung ilalang. Tanpa noda. Embun bening di ujung ilalang itu ditatapnya hingga hilang ditelan mentari pagi. Bening terlebur dalam cahaya keindahan Dewa Surya. Terkadang perempuan itu diminta oleh Prandha Gde untuk mencarikan ilalang muda untuk sirowista atau untuk upacara pengabenan. Ia merasa berbahagia, ilalang yang tumbuh subur di bukit itu bisa memberikan jalan lapang bagi kehidupan yang baru.

          Ia mendesah sendirian. Tak ada yang berani mendekatinya. Orang-orang di dekat sana mengenal dengan baik perempuan itu. Jika hatinya tergores siapa pun tak disapanya. Ia berbahagia jika sendirian. Dalam kesendirian, dirasakannya hidupnya bermakna. Ia bisa melihat hatinya. Ia bisa melihat jalan hidupnya selama ini. Ia bisa bertanya pada ruhnya yang terkadang tak sempat disapanya. Kesendirian itu dirasakannya menentramkan jiwanya.

          Ia tatap buldozer yang memperlihatkan keangkuhannya. Tanah-tanah yang tak berdosa itu dikeruknya hingga kaki bukit itu mengecil. Bayangan akan terjadi sesuatu di desanya terus bersuara di hatinya, “Apa tak ada jalan lain selain mengeruk bukit? Apa tak melihat bahwa bukit itu memberikan ruh pada semesta?” Perempuan perangkai ilalang itu tak bisa berbuat apa-apa. Tangannya tak kuat untuk melawan buldozer itu. Ia yakin tak ada rasa kasihan di ujung buldozer itu, yang dirasakannya hanya keangkuhan.

          Satu dua orang mendatangi tempat tinggalnya. Ia masih mematung. Orang-orang yang mau membeli ilalang yang dirangkai oleh perempuan itu pun berdiri. Ia lihat masih ada ilalang yang dipesan oleh pembeli dari daerah lain. “Dadong, bisa dibeli ilalang ini?”

          Perempuan perangkai ilalang itu masih membisu. Mulut tuanya terkunci. Napasnya terasa berat saat menjawabnya. “Untuk apa?”

          “Terima kasih, Dadong. Untuk upacara Ngroras. Perlu ilalang.” Para pencari ilalang memang rada fanatik. Ia tak mau mencari ilalang di daerah lain atau oleh perangkai lain. Katanya ikatan talinya kuat dan berenergi. Ilalang yang digunakan juga ilalang terpilih. Ilalang yang lahir dari hati perempuan bumi.

          “Jika untuk keperluan memuliakan kawitan, silakan diambil. Tapi, jangan dihabiskan.”

          “Kenapa Dadong?”

          “Mungkin ini ilalang terakhir yang dadong miliki. Dadong ingin selalu bersama ilalang yang tersisa ini. Itu lihat bukit itu. Bukit yang menyediakan ilalang itu sebentar lagi akan rata. Dadong tak punya ilalang lagi.”

          “Kan ada bukit lain Dadong?”

          “Dadong tidak mau mencari di tempat lain.”

          “Kenapa?”

          “Lihatlah di bukit itu! Ada beberapa tempat suci. Vibrasinya menyebar di setiap pohon ilalang. Vibrasi kesucian menyatu dalam bilahan-bilahan daun ilalang. Bersyukurlah masih ada yang dadong simpan. Tolong jangan dibeli semuanya. Biarkan beberapa ikat di sini. Jika Dadong rindu pada bau ilalang, ada yang dekat bersama dadong.”

          Pencari ilalang itu mengumpulkan ilalang yang diberikan oleh perempuan perangkai ilalang. Ia naikkan ilalang itu ke mobilnya. Ia bawa pulang dengan hati. “Kasihan juga Dadong itu,” bisiknya. “Ia tak mendapatkan rasa hatinya lagi. Ilalang itu bagian dari jiwanya. Sekarang, jiwanya tercerabut dari ujung demi ujung ilalang. Cintanya pada ilalang memberikan kesejukan pada jiwanya.”

          “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi. Toh yang kita cari sudah diperoleh.”

          “Ndak boleh seperti itu. Gimana kalau dadong itu tak melepaskan ilalangnya. Kita bisa berkata apa?”

          “Benar juga, ya.”

          “Jangan menilai orang dari penampilannya. Dadong itu merasakan keperihan di hatinya. Daun ilalang baginya adalah jalan pembebasan. Ia menyadari daun ilalang itulah yang melepaskan keterikatan pada keinginan ini.” Pencari ilalang itu menjauh, ia membawa ilalang yang diberi oleh perempuan perangkai ilalang.

          Senja merambat turun. Buldozer di bawah bukit itu masih mempertontonkan keangkuhannya. Ia sikat setiap tanah yang berada di depannya. Ia angkat ke truk-truk yang siap mengangkutnya. Perempuan perangkai ilalang itu duduk mematung. Mulutnya komat-kamit. Hatinya kelihatan menegang. Ia teringat tetua dulu mengisahkan pemutaran Mandara Giri. Ujung ilalang terperciki Amertha Kamandalu. Air suci kehidupan bagi semesta. Betapa bahagianya ilalang yang tersucikan. Perempuan perangkai ilalang itu menghitung ilalang-ilalang yang ada di bukit itu hingga hitungan terakhir. Bukit itu semakin ringkih dengan kaki rapuh dan wajah bopeng. Sebentar lagi akan musim penghujan, hatinya teriris. Dirasakannya buldozer itu meremukkan tulang-tulang ketuaannya. Ia merasakan sakit yang teramat perih.

          “Duh, Hyang Widhi, kenapa cintaku pada ilalang terhempas. Aku sendiri tak pernah mengganggu ciptaan-Mu. Aku hanya memohon rangkaian ilalang agar hamba bisa melanjutkan kehidupan ini. Lihatlah Hyang Widhi. Ilalang-ilalang yang kau sucikan itu telah sirna. Hilang bersama beragam nafsu kehidupan. Ilalang yang kau hadirkan menyangga kesucian Amertha Kamandalu itu telah larut. Larut entah bersama siapa dan menjadi apa? Hamba yakin tak menjadi atap yang menyejuki jalan kehidupan.”

          Matanya telah basah oleh derita. Keperihan tak akan terbasuhkan oleh harapan-harapan. Tatapan perempuan perangkai ilalang itu semakin kosong. Para pengeruk kaki bukit itu mendapatkan kemenangan. Ia pulang. Besok pagi, akan mengawali lagi menikmati tanah bukit yang memabukkan dirinya.

Perempuan perangkai ilalang itu mendekati bukit yang menghidupinya selam ini. Ia duduk di bawah kaki bukit itu dengan mata berkaca-kaca. Matanya semakin berat untuk dibukanya. Ia tertidur di bawah kaki bukit itu. Ia rasakan harumnya tanah bumi yang masih menyisakan aroma ilalang.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar