Asap

kolase pixabay

SUKAR membuka jendela kamar yang seharian belum dibuka. Asap dengan menyengat bau plastik terbakar masih mengganggu dan lebih tak nyaman lagi, asap dari bakaran sampah plastik itu masuk ke ruang tamu, dapur dan juga ruang tidurnya. Sukar geram, namun hati bergelut kemarahan itu berusaha diredamnya. Belum berusaha meredam kemarahan, dari arah dapur yang menjadi satu atap di rumahnya, terdengar suara teriak. Rupanya istri Sukar terjebak asap di ruang dapur. Ia mengira dapurnya kebakaran dan berusaha mencari apa saja untuk memadamkan api. Matanya tak dapat melihat, karena asap makin tebal menyelimuti seluruh ruang dapur. Tiba-tiba terdengar suara kedumprang dan gedebrug. Aduh!!

“Bu, bu , bu..., itu suara apa, keras sekali,” ujar Sukar dari dalam kamar. Sapaan Sukar, tak ada balasan dari dalam dapur. Sukar bergegas ke luar kamar menuju ke ruang dapur yang jaraknya tak jauh dari kamar. Rumah kecil yang baru dibangun dengan masih berdinding batu bata itu, merupakan perjuangannya sejak belasan tahun bekerja keras. Tanah hanya seluas dua are yang dimilikinya, kini sudah didirikan rumah sederhana, meskipun belum berlantai keramik dan juga belum terpasang plafon. Sukar hanya seorang pegawai rendahan di perpustakaan daerah. Sehari-hari hanya berteman dengan macam jenis buku dan bermodal senyum ramah kepada para pengunjung perpustakaan. Pekerjaannya tak hanya bermodal ramah, tetapi juga merangkap tukang bersih-bersih ruang baca, termasuk ruang depan serta ruang ibu kepala perpustakaan. Baginya sebagai pegawai rendahan di perpustakaan sudah disyukurinya. Meskipun kuliah tak tamat, dia masih bisa jadi pegawai negeri dengan pangkat golongan rendah. Apalagi hobinya membaca buku menjadi makanannya semenjak keluar masuk kampus.

Sukar bergegas ke arah dapur. Asap tebal menghalangi pandangannya. Dia berusaha lebih cepat ke arah dapur, namun harus merambat di dinding rumah, khawatir menabrak benda-benda di depannya. Meskipun sudah berusaha cepat, Sukar harus menabrak lemari, karena jarak pandangnya tertutup asap. Sampai berada di pintu dapur, asap makin tebal, Sukar kaget melihat istrinya tersungkur di bawah meja.

“Astaga,” ujar Sukar kaget.

“Pak, pak.., cepat padamkan apinya, nanti rumah kita ludes ditelan api,” ujar istri Sukar tersengal-sengal.

“Kebakaran apa! Ini bukan kebakaran, ini asap sampah!” ujar Sukar sambil berusaha mengangkat tubuh istrinya, untuk secepatnya dikeluarkan dari dapur. Asap makin tebal, membuat sepasang suami istri itu makin sulit bernapas. Mereka berusaha keluar dari dapur dan juga dari ruang tamu, karena hampir seluruh ruangan sudah dikepung asap. Bau menyengat, makin menusuk hidung. Istrinya, makin tak kuat dan napasnya makin pendek-pendek.

“Pak, pak, kok susah sekali bernapas. Kayaknya aku mau mati. Rumah sudah ludes, ya,” ujarnya lemas dan ambruk pingsan di tubuh Sukar. Sukar rada sempoyongan. Namun tangan kurus itu berusaha mengangkat tubuh istri yang mulai gemuk. Tak ada pilihan, tubuh istrinya dibopong sambil menerobos kepulan asap. Meski jarak yang tak begitu jauh hingga di serambi depan, namun napas Sukar tersengal-sengal dan jalannya makin gontai, lalu ambruk saat sudah sampai di serambi depan. Gedebrak, mereka terjatuh menabrak meja tamu. Tubuh gemuk itu menimpa tubuh kurus Sukar.

Semenjak peristiwa rumahnya dikepung asap, istri Sukar tak mau lagi menyapa tetangga kanan kirinya. Dia yakin kalau yang mengirim asap sampah plastik adalah tetangga yang berada tak jauh dari rumahnya. Meski marah, istri Sukar masih berusaha menahan diri, walaupun sambil menggerutu dan memukul-mukul pintu rumah.

“Marah boleh, tapi jangan pintu yang jadi sasaran,” ujar Sukar sepulang kerja.

“Biarin!”

“Sabar. Saya juga marah, tapi tak pakai pukul-pukul pintu,” sahut Sukar meredam, sambil memegang tangan istrinya agar tidak lagi memukul-mukul pintu. Kepalan tangan istrinya masih saja memukul-mukul pintu kayu dan makin keras. Sukar berusaha meredamnya, tapi pukulan ke arah pintu itu makin keras dan keras.

“Sabar, kalau dipukul terus, nanti tangan ibu sakit. Sabar, jangan marah seperti ini,” rayu Sukar.

“Biarin sakit, lebih sakit hidungku ketika mencium bau hangus plastik. Bakaran plastik itu berbahaya, tahu!! Bisa menyebabkan kanker, kayak ndak pernah sekolah saja. Di koran, televisi, media-media online dan radio, bahkan pemerintah daerah sudah sering menyiarkan agar tidak membakar sampah plastik. Itu berbahaya!” ujar perempuan yang sudah puluhan tahun menjadi istrinya.

“Aku paham, tapi ngomongnya jangan keras-keras, nanti terdengar tetangga,” ujar Sukar kembali melunakkan kemarahan istrinya.

“Biarin! Biar dengar semuanya.”

“Tapikan masalah kita bisa bicarakan pada Pak RT dengan bahasa yang tak menyinggung tetangga. Belum tentu tetangga kanan kiri kita yang membakar sampah plastik kemarin itu. Kan, bisa saja yang membakar tetangga desa sebelah lalu tertiup angin, hingga asapnya melintasi rumah kita. Tapi itu, baru kira-kira saja, dugaan atau mensinyalir, he he he,” terang Sukar sedikit bergurau.

“Tidak mungkin, itu perkiraan yang salah. Asap yang masuk ke rumah kita itu, menggumpal dan baunya menyengat. Mana mungkin yang bakar dari desa sebelah. Terbawa angin saja, asapnya sudah terbang dan baunya tak mungkin menyengat seperti kemarin. Itu dugaan keliru. Prediksi yang dangkal,” ujar istri Sukar ketus.

 

“Tapi kita tak bisa nuduh tetangga sebelah rumah kita, nanti sore kita ke rumah pak RT saja,” balas Sukar.

“Ya, karena tetangga kita itu cantik, lantas tak berani mengatakan kalau perempuan cantik itu yang membakar sampah plastik, ya, ya, ya, begitukan maunya,” ujarnya ketus.

“Lho, kok larinya ke perempuan cantik dan rasanya tidak mungkin janda itu yang membakar sampah plastik, karena setahuku, orang yang ibu maksud itu, orangnya bersihan, jadi kurasa ndak mungkin dia, bu,” ujarnya sambil senyum.

“Saya sudah duga, bapak menaruh hati sama janda itu, awas kalau kepergok, saya tinju,” ujarnya sambil mengepalkan tangan.

“Memang saya ada main? Ke sana saja ndak pernah.”

“Bisa saja main belakang.”

“Belakang rumah sudah dipagar tembok dan ndak ada pintunya, mana mungkin bisa ketemu.”

“Tapi, kan pernah menyapanya dari balik tembok.”

“Bukan menyapa, tapi dengar waktu dia menyanyi, suaranya syahdu. Jadi wajar dia cantik dan suka hal-hal yang bersih,” kata Sukar seperti membela.

“Nyanyiannya itu membuat laki-laki di kampung ini tergila-gila, fantasi, mabuk kepayang, hahh pokoknya menjengkelkan, awas kalau berani main belakang!”

“Kok main belakang lagi, di depankan masih cukup untuk bermain,” gurau Sukar.

“Lalu apa namanya.”

“Lho kan cuma dengar orang menyanyi.”

“Nyanyiannya itu bisa berfantasi.”

“Suaranya syahdu.”

“Asem.”

“Kok asem, kan syahdu.”

“Berani main belakang, kusunat!”

“Tapi kan hanya orang menyanyi.”

“Nyanyiannya itu lebih menusuk dari pada asap bakaran plastik,” ujarnya emosi.

Sukar hanya diam. Dia kembali ingin memegang tangan istrinya agar jangan lagi memukul-mukul pintu. Terdengar ribut-ribut, tetangganya mulai berdatangan, mengintip dari lubang ventilasi rumah Sukar. Lalu terdengar brakk.

“Awas, kalau main belakang!”

Esoknya, ribut-ribut soal asap bakaran sampah plastik yang mengepung rumah Sukar sampai juga ke telinga Pak RT. Meski kabar itu sampai ke Pak RT, upaya untuk menegur dan memberi pembinaan kepada warga yang suka membakar sampah plastik tidak pernah dilakukannya. Terlebih lagi, kepada janda cantik yang baru saja menjadi warga pindahan. Pak RT sepertinya tak punya keberanian untuk menegur.

Suatu hari terdengar kabar, Pak RT ribut dengan istrinya. Kata orang-orang, keributan itu berawal dari handphone Pak RT hilang. Namun yang menjadi pemicu keributan, setelah istrinya tahu handphone suaminya berada di tangan janda cantik itu. Keributan tak bisa dibendung dan akhirnya sampai juga kabar itu di telinga Sukar dan istrinya.   


TAGS :

AG Pramono

AG Pramono lahir di Negara, Bali, 23 Maret 1973. Mengawali keterlibatan teater dan seni sastra sejak tahun 1990. Pernah mendirikan Sanggar Susur Jembrana tahun 1991. Sejak tahun 1993 aktif di Bali Eksperimental Teater serta tahun 1998 ikut dalam Komunitas Kertas Budaya. Kini bekerja sebagai jurnalis di salah satu koran lokal di Bali. Tinggal di Loloan Timur, Jembrana.

Komentar