Cerita Senja kepada Langit

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 09 Desember 2022
kolase pixabay

PADA senja itu, langit dilukis dengan beragam warna. Setiap menit berganti-ganti, terkadang merah menyala, terkadang merah dadu, terkadang abu-abu, terkadang berubah terang. Langit menyisakan beragam cerita di senja itu. Semesta mengisahkan dirinya teramat cepat dengan beragam cerita yang susah diterka. Burung-burung menuju rumahnya. Di sana, di ujung langit di bawah daun-daun kehidupan.

          Warsi memandang tegak langit di senja itu. Ia perhatikan jalannya mega-mega. Pandangannya menjauh hingga di batas langit dengan bumi. “Kau telah tenang di sana, Sayang. Aku menyendiri menanti waktu untuk bersamamu. Kapankah waktu itu, Sayang? Kenapa kau biarkan aku menyendiri. Kau berjanji akan setia sampai akhir hidupku. Tapi, kenapa kau ingkari janjimu?”

          Perempuan yang baru saja menikmati musim pernikahan mendesah sendirian. Ia merasakan begitu cepat kata perpisahan. Masa-masa indah sebuah rumah tangga hanya sebuah mimpi yang tak pernah terwujud. Kata-kata indah saat berduaan, beribu janji yang terucap, hanya menjadi kenangan saja. Semua menjadi titik ingatan saja. “Aku akan setia menunggumu di sini, Sayang.” Perempuan itu seperti merasakan ketenangan saat menatap senja di ujung langit.

          “Biarkan, suamimu pergi, Anakku,” mertuanya mendekatinya. Ia tepuk-tepuk bahunya. Ia telah bahagia. Ia telah memberimu harapan-harapan walau hanya di angan-angan saja.”

          Warsi mengusap perutnya. “Ini harapanku, Ibu. Ia penggantinya. Tiang tak akan menyia-nyiakan harapan yang pernah tiang sampaikan kepada Beli Komang. Tak ada yang lebih utama dari sebuah kesetiaan kepada suami.”

          Mertuanya tersenyum. Ia pegang jemari menantunya. “Ayolah Nak. Kita kembali ke ruang makan. Senja sudah ditelan bumi. Besok akan kau lihat senja. Senja akan lebih indah. Akan kau nikmati beragam kisahnya.”

          “Terima kasih, Bu.”

Senja bagi Warsi adalah suaminya yang setia menantinya di ujung langit. Ia merasakan kebahagiaan saat menikmati senja. Burung-burung yang lewat di ujung langit, menyampaikan kata hatinya kepadanya. “Tolong sampaikan detak jantungku padanya. Katakan, jika ia rindu pada istrinya, tataplah senja. Di sana, akan bertemu dua hati.”

“Makanlah, Nak. Ini sudah Ibu buatkan sayur kesukaanmu. Ini ada pepes ikan laut yang kau pesan kemarin. Tak usah terlalu larut dalam kesedihan, Beli Komang tetap ada di hatimu. Itu ada di rahimmu.”

Warsi menikmati suguhan mertuanya. Piring yang biasa digunakan suaminya diambilnya. Ia ambil nasi putih. Ia buka pepes ikan laut kesukaan suaminya. “Kita makan bersama, Sayang. Temanilah aku, Sayang.”

          Warsi tersenyum. Lesung pipinya menambah kecantikannya. Ia elus-elus perutnya yang semakin membuncit. “Hanya ini impian yang terwujud, Ibu. Mimpi-mimpi yang pernah kami ucapkan berakhir di rahim ini.”

          “Warsi masih muda. Ibu rela jika Warsi mencari pedamping lain.”

          Mata Warsi terbelalak. “Tidak Ibu! Hanya ada satu laki-laki di hatiku, Beli Komang. Ia tak tergantikan. Memangnya Ibu bosan sama Warsi?”

          “Oh tidak, Anakku.” Mertuanya mengelus rambutnya yang sebahu. “Rawatlah yang di rahim itu. Ia akan menjagamu. Ibu yakin, suamimu berekarnasi menjadi anakmu. Ia tetap bersamamu. Beli Komang tak pernah meninggalkanmu.”

          Warsi merasa terhibur, tapi hatinya terasa perih. Suaminya pergi menghadap Yang Kuasa dalam pelukannya. Ia tak menduga suaminya begitu cepat meninggalkannya. Hari itu, perut suaminya tiba-tiba membesar seperti balon yang terisi udara. Napasnya terus membubung naik. Ia larikan ke rumah sakit, di perjalanan napasnya terhenti. Berita burung tersebar, suaminya di-cetik. Ia tak tahu kesalahan yang diperbuatnya. Tapi itulah hidup, saat berbahagia, kedukaan datang menghampiri. Jerit tangis tak terbendung. Warsi meronta-ronta. Ia tak bisa menerima kenyataan.

          “Akan kulawan yang menyakiti Beli. Biar apapun yang terjadi,” bisiknya dalam hati. “Beli tak pernah menyakiti orang lain. Kok Beli mendapatkan kematian?”

          “Warsi, jaga perutmu. Kasihan ia. Semua yang ada di sini pasti bersedih. Tapi, yang di rahimmu itu tak boleh bersedih karena deritamu. Ayolah, kita ajak suamimu pulang. Biar ibu yang mengurus segalanya.”

          Perjalanan menuju keabadian berjalan lancar. Mata Warsi sembab melepaskan suaminya yang akan menjalani kisah karma kehidupan. Tak ada bekal utama selain karma. Cerita tentang hidup saja yang akan selalu diingat. Sema itu menyatukan suaminya bersama Yang Maha Abadi. Kobaran api membakar sisa kehidupan maya. Ia kembali menjadi sunyi. Menyendiri.

          “Ayo Nak, kita kembali ke rumah. Tugasmu menjaga Beli Komang yang ada di rahimmu. Ia akan merasa tenang di sana karena kesetiaan yang kau rawat dalam hidupmu.”

          Burung-burung menyibak senja. Ia menceritakan kisahnya kepada langit. Warsi mengusap air matanya. ia mengusap perutnya. Ada geliat jiwa di dalamnya. “Beli, ini buah cinta kita. Akan kurawat sepanjang ruh ini masih mencintai tubuh.”

Warsi menatap senja itu. Ia lihat wajah suaminya tersenyum “Ibuuuuuuuuuuuuuu! Ibuuuuuuuuuuuuuuuuuuu! Ibuuuuuuuuuuuuuuu! Beli Komang ada di sana. Itu di ujung senja.”

 

Catatan:

Beli: kakak

Cetik: racun

Sema: kuburan

Tiang: saya


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar