Kisah Itu Terbingkai di Sini

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 11 Desember 2022
pixabay

FOTO itu menyisakan beragam kisah. Wajah-wajah yang terlihat bahagia di foto itu telah menjalani beragam warna kehidupan. Ada sedih, gembira, suka-duka menyatu menguatkan lingkaran kehidupan. Tak ada jalan yang lurus dalam kehidupan. Liku-likunya memberikan keindahan bagi perjalanan sebuah jiwa.

Laki-laki separuh usia itu mengamati foto yang dikirimi oleh temannya sewaktu bersama-sama menggali ilmu di sebuah perguruan tinggi. Ia tersenyum melihat wajahnya yang masih bugar dan menampilkan kegagahan. “Sudah bermetamorfosis,” bisiknya. Ia usap wajahnya. Cekung ketuaan dan keriput menghiasi wajahnya. “Apa ini bukti ketuaan? Apa ketuaan hanya bisa dilihat dari fisik belaka?” Ia menanyai dirinya. “Apa ini bisa dijadikan sebuah pertanda. Oh, tentu saja tidak. Bukan ini bukti kedewasaan dan ketuaan.” Laki-laki itu menjawabnya sendiri.

Ia merasa malu pada dirinya karena sampai detik ini selalu saja ragu dalam mengambil sebuah keputusan. Keragu-raguan bukanlah ciri sebuah kedewasaan. Kedewasaan akan terlihat dari sikap mengambil keputusan dengan penuh tanggung jawab. Ia geli melihat foto itu. Gadis manis yang berada di sampingnya itu terus mendekatinya, tapi ia tak berani mengatakan isi hatinya. Maklumlah ia perempuan yang pantang menyampaikan isi hatinya secara terbuka. “Kau pasti telah berhagia bersama pilihan hatimu. Maaf, keberanian itu tak kumiliki.” Ia tahu perempuan itu menaruh hati saat mengatakan akan menikah dengan laki-laki dari seberang.

“Aku akan menyeberangi lautan itu. Kita akan terpisahkan oleh lautan. Dan tak akan pernah menyatu lagi.”

Lama perempuan itu menunggu jawaban darinya. Jika saja, ia berani mengatakan isi hatinya dan melarikannya pastilah hidupnya akan berbahagia. Tapi, alur cerita tak seindah yang dibayangkan. Ia lepaskan gadis manis yang berada di depannya. “Kenapa aku tak punya keberanian? Dasar penakut. Dasar pecundang.” Laki-laki itu memarahi dirinya sendiri.

Beberapa foto kenangan ia temukan di FB. Entah kenapa, temannya teramat sering memamerkan foto-foto jadul. Apa mau membuka kisah lama lagi? Dan di akun FB lainnya, perempuan itu menunjukkan kemesraannya saat bersama  pilihan hatinya. Tangannya digamit dengan senyum mengembang.

“Kenapa baru sekarang kau mencarinya?” Teman satu kamarnya itu mengatainya. “Kenapa tidak sedari dulu saja? Bukankah sudah diberikan sinyal agar kau melarikannya, tapi kau tak lebih dari seorang laki-laki banci.”

Ia tak marah saat dikatakan banci. “Memang benar, aku banci dan penakut.”

“Baiklah. Ini nomor HP-nya. Tapi, jangan kau ganggu Galuh. Tak baik menghancurkan kebahagiaan karena kisah masa lalu. Masa lalu punya waktunya. Masa sekarang yang kau hadapi. Seorang laki-laki tidak akan menjadi pahlawan kalau mengganggu kebahagiaan sebuah rumah tangga.”

Ia catat nomor yang dikirimi temannya. Beberapa minggu, ia simpan nomor WA Galuh. Ia tak berani menanyakan atau menyatakan dirinya dalam sebuah WA. Ia hanya bisa menikmati masa lalunya saja. “Galuh, semoga kau selalu berbahagia. Maaf kepengecutan ini menjadi pilihanku.”

Entah kenapa, tiba-tiba HP-nya berdering memanggil namanya. Tertera nama, Galuh. Ia beranikan dirinya untuk mengangkatnya. “Selamat malam. Benar ini Arya?”

“Tak salah,” jawabnya. “Dari mana Galuh dapatkan nomor HP-ku?”

“Tak usah pura-pura. bukankah kau juga mencari nomor HP-ku ?”

Arya terdiam. Ia merasa bersalah.

“Tak baik menyimpan kepura-puraan. Tak ada gunanya. Pilihan meski dijalani. dan  berbahagia dengan pilihan itu.”

Keringat mulai merembes di tubuhnya. Ia rasakan tubuhnya seperti ditelan ribuan kepura-puraan.

“Anakku yang pertama sudah kerja, yang kedua lagi kuliah,” Galuh bercerita. “Aku tak akan menanyakan padamu di mana anakmu karena aku tahu kau hanya punya anak di angan-angan saja.”

Laki-laki itu mau membanting HP-nya. Tapi, ia menyadari kata-kata Galuh itu memang benar. Ia tahan hatinya.

“Plak!” HP-nya terjatuh. Laki-laki itu tergagap. Sambungan putus. Ia mendongkel. Kemarahannya pada dirinya seakan tak terbendung. “Kenapa aku tergoda dengan foto masa lalu. Kenapa aku hidup dengan bayang-bayang masa lalu? Sudah! Sudaaaaaaaaah! Aku tak akan menghubunginya lagi.”

Ia keluar rumah. Ia berusaha agar pikiran dan hatinya menjadi tenang. Ia ke taman kota yang sering dikunjunginya. Ia membaurkan dirinya dengan orang-orang yang mencari keringat. Ia lari-lari kecil mengitari taman kota. Peluhnya mengucur. Bebannya terasa terobati. Ia mencari tempat yang sedikit agak lapang. Napasnya diatur kembali. Diperhatikannya orang-orang di taman itu. Ia kaget. Ia seperti melihat wajah Galuh saat bersitatap dengan seorang gadis. “Kok mirip? Ah, tak mungkin, Galuh ada di sini? Bukankah ia mengatakan menikah keluar pulau. Manusia terkadang mirip di wajah, tapi belum tentu ada hubungan kekerabatan.” Ia menghibur dirinya. Ia kembali mengelilingi taman kota. Setiap menoleh pada gadis itu, gadis itu tersenyum. Senyumnya lagi-lagi seperti Galuh.

“Dasar hati tersaput bayangan semu. Segalanya tampak nyata.” Ia tinggalkan taman kota. Saat akan meninggalkan taman kota, gadis itu mencegatnya dan mengulurkan tangannya serta memberikan foto. “Bapak kenal dengan wajah ini?”

Laki-laki itu tak menjawabnya, ia ngloyor pergi.


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar