Representasi Psikologi Perempuan Bali dalam Kumpulan Cerpen Perempuan Pemuja Batu Karya Gede Aries P

  • By Made Eva Trisna Dewi
  • 22 Desember 2022
istimewa

Judul Buku : Perempuan Pemuja Batu

Penulis : Gede Aries Pidrawan

Penerbit : Mahima,

Cetakan : Kedua, Oktober 2019

Halaman : vi + 144

ISBN : 978-623-7220-21-3

 

Kumpulan cerpen Perempuan Pemuja Batu merupakan sebuah buku yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan. Sebuah buku yang mengangkat sebagian besar tentang perempuan Bali dengan latar belakang adat dan tradisi yang melingkupinya. Cerita di dalam kumpulan cerpen Perempuan Pemuja Batu karya Gede Aries Pidrawan ini tak sebatas fantasi, melainkan juga terkandung kisah-kisah nyata yang terjadi dalam lingkungan masyarakat.

Terdapat 16 cerpen yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan, dalam kumpulan cerpen tersebut hal yang paling menonjol adalah bagaimana pengarang menceritakan sosok perempuan yang ada dalam setiap judul cerpen yang ada, dari penggambaran tersebut bisa dirasakan adanya rasa empati pengarang pada perempuan Bali yang mengalami keresahan, penderitaan, diskriminasi, dirundung ketidakadilan, kesemena-menaan ataupun yang lainnya.

Psikolog klinis dari Ciputra Medical Center dan Smart Mind Center Frisca Melissa Iskandar, menjelaskan bahwa perempuan memiliki kecenderungan naluriah untuk mengutamakan kepentingan orang lain, khususnya kepentingan keluarga. Seperti cerpen yang berjudul “Kaung Bedelot” dalam ceritanya terdapat dialog dari Luh Sasih, “Aku ingin menangis, tetapi perasaanku tersandera, mengorbankan perasaanku atau orang tuaku adalah sebuah pilihan yang menyakitkan. Aku tak ingin senyum orang tuaku berhenti mengembang kemudian berganti tangis.” Ada faktor yang mendorong perilaku tersebut yaitu faktor internal, karena ada yang namanya dorongan untuk memiliki self image yang positif baik untuk diri sendiri maupun untuk keluarga yang merupakan orang yang dikasihinya.

Luh Sasih mengalah demi mengutamakan orang tuanya, umurnya yang masih delapan belas tahun dipaksakan menikah dengan seorang lelaki yang sudah memiliki 4 istri. Begitu juga dengan cerpen yang berjudul “Maria” dalam ceritanya terdapat dialog dari Maria “Aku takkan pulang, De. Menikah sajalah dengan Luh Jepun, aku ikhlas. Tak usah kau sisakan cinta untukku, aku telah mendapatkan cinta dari setiap sesaji yang kubuat.” Maria rela dimadu oleh suaminya agar kehidupan suaminya menjadi lebih baik ketika menikah dengan Luh Jepun.

Begitu juga dengan beberapa cerpen seperti “Tangis Seorang Baluan”, “Perempuan Tulah”, “Nyai Bekung” dan “Tembang Tengah Malam” dalam cerpen tersebut dengan jelas tertulis: Menjadi perempuan di desaku, Legong Sari, sangat rumit, mungkin pula berat. Perempuan di desaku adalah manusia kelas dua, laki-laki kelas satu, lebih-lebih bagi yang telah bersuami, di hadapan suami perempuan harus tunduk setunduk-tunduknya. Cerita-cerita tersebut merupakan cerita yang dimana perempuan selalu mengalah atas apa yang terjadi pada dirinya demi kepentingan keluarga, pandangan masyarakat, nama baik keluarga itu sendiri dan menjadikannya sebagai manusia kelas dua setelah laki-laki.

Tidak hanya didalam kumpulan cerpen yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan tetapi hal serupa juga sering terjadi dalam kehidupan masyarakat, banyaknya pandangan bahwa perempuan merupakan makhluk yang lemah menciptakan stigma bahwa perempuan tidak dapat memiliki peran yang penting baik di dalam keluarga maupun masyarakat. Kemudian secara otomatis tercipta psikologi atau kecenderungan mengutamakan kepentingan orang lain daripada diri sendiri pada perempuan.

Tetapi ada juga beberapa cerpen yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan yang dimana tokoh perempuan pada ceritanya tidak hanya mengalah dan pasrah terhadap apa yang dialaminya tetapi juga dapat menunjukan bahwa perempuan mampu membalikkan keadaan, membela diri dari ketidakadilan yang dia dapatkan dengan cara yang cukup tragis sebagai pembalasan dendam untuk apa yang terjadi pada dirinya. Seperti yang diceritakan pada cerpen “Bangkung Buang” seorang perempuan yang mendapatkan ketidakadilan, pelecehan sehingga mendapat julukan bangkung buang untuk mengetahui siapa pelaku dari ketidakadilan yang dia alami saat itu dan ketika dia dipertemukan oleh laki-laki yang melakukan pelecehan terhadap dirinya tanpa ragu dia menancapkan belati tepat ke jantung pelaku itu. Pembalasan yang dilakukan perempuan itu bukan semata-mata hanya untuk kepuasannya pribadi, tetapi memperbaiki nama baiknya untuk dirinya sendiri.

Begitu juga dengan cerpen yang berjudul “Keris” diceritakan di dalamnya ada perempuan berkasta yang memiliki hubungan dengan laki-laki jaba atau sudra yang memiliki kasta terendah, karena perbedaan itulah ia dinikahkan dengan keris. Pembalasan yang dilakukan pada cerpen yang berjudul “Keris” ini merupakan suatu bukti bahwa perempuan bukan mahluk yang lemah, perempuan juga bisa melawan atas ketidakadilan yang dia alami untuk membela diri sendiri, dan nama baik diri sendiri. Orang-orang menganggap bahwa perempuan itu makhluk lemah, dan tidak akan mampu melawan kekerasan apapun, sehingga pelecehan dan tindakan kekerasan baik itu secara fisik, seksual, dan psikologi perempuan sering terjadi terhadap perempuan tetapi nyatanya tidak sepenuhnya benar karena banyak sudah terbukti, dalam beberapa hal perempuan justru lebih kuat dari laki-laki.

Dalam cerpen “Keris” ini sosok Dayu merupakan sosok perempuan yang tangguh dan teguh pada pendiriannya. Penggambaran karakter tokoh Dayu yang dilakukan oleh Gede Aries Pidrawan ini sangat baik selain pembalasan dan pembelaan yang dilakukan seorang Dayu. Di sana juga terdapat gambaran sosok seorang perempuan yang berani, tangguh, dan tetap pada pendiriannya. Hal ini dapat menyakinkan pembaca bahwa kita sebagai perempuan bisa menolak, membela, dan melawan diskriminasi yang dialami.

Perempuan kuat adalah perempuan yang bisa mencintai dirinya sendiri. Tidak hanya bisa mengalah dan perpasrah kepada ketidakadilan. Diskriminasi yang dia alami di lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat tetapi perempuan hebat adalah yang berani berbicara, membela, melawan hal-hal yang seharusnya sudah menjadi haknya dan melawan hal-hal yang seharusnya tidak ia alami.

Dalam kumpulan cerpen yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan mulai dari gaya penceritaan, penggambaran tokoh dan ending dalam penceritaannya sangat baik. Cerita-cerita yang ditulis oleh Gede Aries Pidrawan ini sangat mewakili dan menggambarkan perjuangan menjadi perempuan Bali melawan tradisi, hukum adat, dan pandangan-pandangan dari masyarakat yang pemikirannya kurang modern atau bisa dikatakan masih terjebak pada pemikiran yang sangat tradisional.

Kumpulan cerpen Gede Aries Pidrawan ini juga sangat menarik dan juga menginspirasi banyak perempuan di luar sana bahwa perempuan bukan makhluk yang lemah. Perempuan juga bisa mendapatkan dan memperjuangkan keadilan atas dirinya sendiri bahkan nama baik keluarganya sendiri. Gede Aries Pidrawan juga banyak menceritakan bagaimana tradisi yang ada di Bali, penceritaannya yang sangat sederhana memudahkan pembaca untuk memahami apa yang dimaksud dari cerita tersebut. Selain itu dengan adanya banyak penceritaan yang menyangkut tradisi, hukum adat yang khas dari Bali tentunya dapat menambah wawasan kita mengenai adat dan budaya di Bali mulai dari pelajar, mahasiswa, guru maupun kalangan luar yang berasal dari dalam dan luar Bali.


TAGS :

Made Eva Trisna Dewi

Lahir di Denpasar, 28 November 2002. Menempuh pendidikan di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia dengan konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menggemari musik, membaca novel.

Contac: [email protected]

IG: evatrisna00    

Komentar