Sang Maraga Melik

  • By Made Eva Trisna Dewi
  • 23 Desember 2022
Eva

AKU sangat berharap memiliki kehidupan yang normal, ingin rasanya dilahirkan buta agar apa yang kulihat, kurasakan, dan kudengar sekarang tidak lagi datang dan menggangguku. Dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat orang biasa, memiliki kepekaan akan hal sekitar yang mungkin orang biasa tidak mampu rasakan dan mampu mendengar suara yang tidak terdengar oleh orang lain merupakan sesuatu yang sulit kujalani dalam hidupku. Masyarakat Bali menyebutnya Melik.

Aku awalnya menjalani kehidupanku dengan normal. Aku tak mengetahui apa itu melik, bahkan tak pernah terbayang jika aku orang yang akan mengalaminya secara langsung. Namun tepat saat usiaku menginjak 19 tahun, aku mulai merasakan hal-hal aneh di sekitarku. Sering bermimpi aneh-aneh dan menyeramkan, bahkan bisa dikatakan setiap hari aku ketindihan dan terbangun di jam yang sama yaitu jam 03.00 pagi. Aku awalnya tidak berpikiran aneh-aneh dan tidak ambil pusing dengan kejadian tersebut. “Ah, cuma kebetulan,” kataku.

Suatu malam, aku ketindihan lagi, badanku tidak bisa digerakkan. Di dalam mimpi aku didatangi oleh sosok Ratu Niang Mas Macaling, sosok yang bisa dibilang memiliki wujud yang menyeramkan. Sosok seram dengan lidah panjang, mata besar, dan memiliki caling panjang sedang menari-nari di depanku.

Aku mengetahui bahwa itu mimpi. Awalnya sosok itu jauh di depanku. Saat aku berkedip, sosok itu semakin dekat, semakin dekat hingga sampai di depanku. Aku berusaha berteriak dan menggerakkan badan untuk bangun, kemudian sosok itu mengusap kepalaku dan aku pun berhasil terbangun. Setelah bangun dari mimpi aneh itu, badanku terasa lelah, napas yang menjadi berat seperti habis berlarian. Aku menengok jam di ponselku yang menunjukkan pukul 03.00 pagi. Dalam hatiku berkata, “kenapa ya kebangunnya jam 03.00 pagi terus.”

Aku tak langsung pergi tidur setelahnya karena takut jika sosok itu kembali mendatangiku. Karena takut aku terus berdoa di dalam hati, melafalkan bait-bait Tri Sandya agar kembali tenang dan kemudian tertidur kembali.

Matahari telah terbit, ayam-ayam mulai berkokok, aku dengan cepat bangun dari tempat tidur dan segera menceritakan mimpi yang mengerikan itu kepada ibuku. “Mak, Made mimpi didatangi Ratu Niang Mas Macaling tadi pagi.”

Dengan agak ragu ibuku menjawab, “Ndak apa cuma mimpi jangan dianggap serius!”

Aku kembali ke kamarku dengan perasaan agak lega dan melanjutkan aktifitasku. Sebagai mahasiswa aku harus mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk dari dosen-dosenku.

Beberapa hari setelah bermimpi didatangi sosok Ratu Niang Mas Macaling, aku jatuh sakit. Saat mengikuti pembelajaran, aku tiba-tiba pusing di kampus dan memutuskan untuk izin sebelum pembelajaran dimulai agar dapat beristirahat di rumah. Selama 1 minggu aku layaknya mayat hidup hanya terbaring di tempat tidur dengan tatapan mata kosong, tidak bisa berjalan maupun duduk. Hidung, mulut, telingaku mengeluarkan darah pekat. Karena tidak adanya perkembangan atau tanda-tanda sembuh, ibu mulai takut karena teringat mimpi yang aku ceritakan beberapa hari lalu.

Tetapi ibuku tetap tidak ingin memikirkan hal-hal tersebut dan berencana membawaku ke rumah sakit untuk menjalani pengobatan, “Beli antar Made ke rumah sakit. Tiang takut jika terus-terusan begini, setidaknya supaya dapat infus, karena gak ada makanan yang masuk,” kata ibuku pada ayah.

Dengan mobil pinjaman pamanku, aku dan keluargaku pergi ke rumah sakit dan aku dimasukkan ke ruang UGD. Di ruang UGD aku mengikuti beberapa test, salah satunya test darah. Perawat menyuntikkan jarum di tangan kananku dan mengambil darahku untuk dilakukan test laboratorium.

Setelah menunggu beberapa menit, dokter dan perawat mendatangiku dan keluargaku memberikan hasil test tersebut. Dokter mengatakan aku dalam keadaan normal, tidak sedang mengalami sakit apa pun dan bisa dikatakan aku sehat. Sontak keluargaku terkejut dengan pernyataan yang diberikan dokter. “Dok, apa benar anak saya sehat. Anak saya sudah satu minggu tidak bisa duduk, berjalan, bahkan mengeluarkan darah,” kata ibuku.

Dokter menjawab dengan penuh keyakinan sambil memberikan kertas hasil test laboratorium. “Nggih bu. Dari hasil test laboratorium anak ibu sehat, tidak mengalami sakit,” jawab dokter pada ibuku.

Dengan penuh keraguan dan kebingungan, aku dan keluargaku pulang ke rumah. Disepakatilah untuk sementara aku dirawat di rumah terlebih dahulu. Sehari setelahnya, orangtuaku memutuskan mengajakku berobat ke balian. Aku dibopong dari mobil hingga ke tempat balian karena kondisiku yang masih sama, lemas, tidak bisa duduk maupun berjalan. Sampai di tempat tersebut aku dan keluargaku melakukan persembahyangan terlebih dahulu, meminta petunjuk agar menemukan titik terang untuk kesembuhanku. Tibalah giliranku untuk ditamba, balian itu melihatku cukup lama dan berkata, “anaknya pernah ditebusin, beli?”. Dengan terbata-bata ayahku menjawab, “Tidak pernah, Jro. Nebusin napi nggih?” tanya ayahku.

Balian itu menghela napas, mengatakan bahwa aku memiliki lidah poleng yang hanya bisa dilihat secara niskala yang artinya aku melik. “Anaknya beli memiliki kelebihan, hal yang menyebabkan dia sakit seperti sekarang karena dia disukai oleh makhluk halus. Tolong segera tebusin supaya tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan,” kata balian itu.

Balian itu juga menjelaskan hal-hal yang mungkin terjadi jika aku tidak segera melakukan penebusan itu, mulai dari aku yang memiliki umur pendek, kesialan, dan sakit yang mungkin tidak bisa disembuhkan dengan cara medis. Orangtuaku menyanggupi untuk melakukan penebusan itu di Karangasem, kampung halamanku dan di Pura Dalem dekat tempatku tinggal.

Melewati berbagai prosesi penebusan, panglukatan melik, pembersihan rumah, dan pembersihan diri kujalani agar hal-hal yang menggangguku tidak menempel padaku. Setelah menjalani semua itu kondisiku mulai membaik, tidak seperti awal ketika aku sakit. Aku sudah mulai bisa berjalan, duduk bahkan memakan makanan kesukaanku. Tetapi aku masih bisa melihat, mendengarkan, dan merasakan hal-hal yang tidak bisa dirasakan orang lain. Aku masih bisa melihat sosok pria berbadan tinggi hitam di dekat rumahku. Aku juga masih bisa mendengar hal-hal aneh seperti gerutu dan suara napas seseorang di telingaku. Beruntung mereka hanya memperhatikanku dari jauh dan tidak menggangguku, tetapi tetap saja untuk aku yang belum terbiasa cukup sulit untuk pura-pura tidak melihat dan mengabaikannya.

Terkadang aku juga masih bermimpi hal-hal aneh, seperti aku bermimpi semua gigiku lepas dan mimpi itu datang 2 kali dengan jangka waktu yang cukup dekat. Masyarakat Bali mempercayai bahwa mimpi itu akan berakibat buruk, seperti keluarga atau orang-orang terdekat akan meninggal. Dan benar saja, 1 bulan kemudian bibi dan nenekku meninggal dalam waktu dekat. Bibiku tidak menderita sakit yang lama. Hari itu dia dibawa ke rumah sakit dan hari itu juga meninggal. Dari yang kutahu, penyebabnya diabetes dan ada komplikasi dengan jantungnya. Nenekku memang sudah tua dan dia meninggal dalam keadaan Covid.

Aku juga pernah bermimpi ada bayi yang datang ke rumahku dan memanggil-manggil orang tuaku. Setelah dicari-cari, ibuku teringat bahwa dia pernah tidak sengaja menggugurkan kandungannya sebelum aku ada dan belum pernah melakukan prosesi ngelungah untuk bayi keguguran. Sudah 20 tahun lamanya kandungan itu belum diupacarai, janinnya belum berbentuk, wujudnya hanya darah ketika keguguran.

Agar menemukan titik terang, aku keluargaku dan saudara-saudaraku mapeluasin nenekku, bibiku, dan bayi keruron ini. Kebetulan saat itu akan ada ngaben masal di kampung halamanku, Karangasem. Saat mepeluasin hal itu dikatakan benar, bayi yang sebenarnya menjadi kakakku mengatakan dia sudah memiliki nama yaitu “Bayu Neke” saat mepeluasin itu juga dia memanggil-manggil orang tuaku meminta untuk ikut diupacarai saat pengabenan di Karangasem. Orangtuaku menyanggupi hal tersebut agar dia dapat beristirahat dengan tenang di alamnya. Aku kemudian menjalani aktifitasku seperti biasa.

Apa yang terjadi padaku ada banyak hal yang dapat aku pelajari dan ketahui, terutama ketika aku jatuh sakit. Aku mengetahui betul siapa saja yang peduli padaku dan keluargaku. Sampai saat ini aku berusaha untuk menerima apa yang menjadi kelebihanku, sampai saat ini pun aku masih bertanya-tanya apakah pemberian ini merupakan anugrah atau kutukan untukku.


TAGS :

Made Eva Trisna Dewi

Lahir di Denpasar, 28 November 2002. Menempuh pendidikan di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia dengan konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menggemari musik, membaca novel.

Contac: [email protected]

IG: evatrisna00    

Komentar