Bulan Memerah di Malam Pergantian Tahun

  • By IBW Widiasa Keniten
  • 31 Desember 2022
pixabay

GADIS itu mendesah, “Setahun yang lalu, aku juga duduk di sini? Malam ini juga di sini. Tak ada yang baru di sani.” Suara terompet saling menyahut. Kembang api dengan beragam warna silih berganti menghiasi malam pergantian tahun. Pesta kemeriahan menjadi penyatu hati, semangat baru untuk menjalani tantangan dan perjuangan. Tahun baru memberi warna baru.

          Penjual makanan kecil mendekatinya. Keranjang yang terbuat dari bambu itu masih menyisakan beberapa jajan yang menunggu pembeli untuk memilihnya. Wajahnya cukup ceria, mungkin keuntungan sudah bisa dirasakannya. Peluhnya sedikit merembes disapunya dengan tisu yang telah beberapa kali digunakannya. “Jajan tahun baru, Bu. Ada minat? Ini legit. Ini buatan baru.”

Gadis itu tersenyum. “Aku beli yang ini saja.” Penjual keliling itu membungkus kue yang ia sebut sebagai kue tahun baru. “Tahun lalu bersama Beli di sini. Kita menikmati kue tahun baru. Kita juga saling berbagi kue ini. Tiang ingat, Beli bilang enak kuenya. Tahun ini, tiang sendirian menikmati. Beli bersama siapa di sana menikmatinya?”

          “Terima kasih. Sudah membelinya, Bu.” Lamunan gadis itu tersibak. Sorot matanya menjauh. Ia merasa asing di suasana yang penuh hingar-bingar.  Ia perhatikan wajah-wajah penikmat tahun baru penuh keceriaan. Satu pun tak ada beban di wajahnya. Kegembiraan berbaur bersama suasana keriangan malam tahun baru. Suara musik berlomba-lomba menyentakkannya terasa mencopoti jantung. Anak-anak baru gede berjoget mengikuti irama musik. Ada dua panggung di lapangan itu. Penonton bisa menikmati musik tradisional atau musik modern. Keduanya mendapatkan tempat.

          Gadis itu membuka kuenya. Ia terpaku. “Tiang tak mau makan kue ini, Beli. Tiang tidak tega makan sendirian. Tahun lalu, kita makan bersama. Menikmati bersama. Tersenyum bersama. Tapi, tahun ini, kenapa harus tiang sendirian di sini? Tega sekali Beli pergi tanpa pernah kembali lagi.” Ia masukkan kuenya itu ke dalam kantung. Matanya sayu seperti tak ada gairah di malam pergantian tahun.

          “Ayuuuuu!” lamat-lamat seseorang dirasakannya memanggilnya. Ia seperti mendengar suara kekasihnya.

          “Beli, di sini?”

          “Di sini, Ayu. Kenapa tidak? Bukankah sudah berjanji akan makan bersama di tempat ini. Kuenya masih ada?”

          “Ini Beli?” Gadis itu menyodorkan kuenya pada ruang hampa.

          “Coba lihat ke timur. Itu pohon beringin sebagai saksinya. Lihat daunnya masih lebat dan menghijau. Akar-akarnya menjulur ke bawah menguatkan batangnya. Itu di bawahnya beberapa gadis duduk berpasangan. Bukankah kita juga sama? Itu bunga jepun merah sedang memamerkan bunganya yang cantik. Cantiknya sama sepertimu. Coba alihkan tatapanmu ke langit! Itu rembulan memerah. Bukankah sama dengan tahun lalu?” Gadis itu memandang langit, Bulan bergantung memerah seperti memendam kesedihan yang mendalam. Ada pendar merah melingkupinya sesekali awan menyelimutinya.

          “Oh, ya benar, Beli. Lampu kerlap-kerlipnya masih hidup. Berarti, Beli ada di sini? Jangan sembunyi Beli. Ayu takut. Ah, Beli seperti anak kecil yang suka main petak umpet.” Pandangannya tak tentu. Ia tak tahu kenapa kekasihnya tiba-tiba menghilang saat pergantian malam tahun baru, hingga menjelang pagi, ia menunggu di bangku taman itu tak kunjung-kunjung juga kekasihnya datang. Setiap yang dikenalinya ditanyainya. “Sempat bertemu dengan Beli Komang?” tanyanya pada pengunjung malam pergantian tahun.

          “Tadi sempat lihat di sana warung sebelah. Kulihat ia berbicara serius. Entah apa yang dibicarakannya?” Gadis itu menyusuri jalan menuju warung yang dikatakan tadi.

          “Benar tadi Beli Komang ada di sini.”

          “Ndak ada. Siapa bilang?”

          “Kalau tidak salah tadi sama temannya. Itu di sana, sama gadis cantik.”

          “Bersama gadis cantik?” tanyanya dalam hati. Ayu tak percaya kekasihnya berbagi hati. Ia yakin tak ada gadis lain selain dirinya di hatinya. Ia terus menyusuri tempat-tempat yang dikatakan pengunjung pergantian tahun. Gadis itu duduk di pojok taman. Ia menunduk lesu. “Teganya Beli mengingkari kata-kata yang Beli ucapkan. Kesetiaan pada kata-kata telah hilang. Tiang berharap Beli bisa menjadi penjaga dan penyangga, tapi semua itu tak ada di hati Beli. Kesetiaan tanpa dilakoni akan percuma Beli. Kesetiaan tak cukup hanya di bibir saja.”

          “Ayu, kita pulang saja.” Ibunya merasakan beban anaknya itu, ia pegang tangannya. “Beli Komang tak akan kembali lagi malam ini. Ia laki-laki yang tak patut dipercaya.”

“Tidak Ibu. Ia lak-laki sejati.”

“Buktinya apa Ayu? Kau telah termakan oleh kata-katanya. Coba lihat rembulan itu! Ayu katakan saat berjanji rembulan itu memerah. Malam tahun ini juga memerah, artinya kekasihmu tak akan kembali.”

          Ayu menarik napasnya. Kata-kata indah yang pernah terucap dirasakannya seperti badai yang menghempaskan dirinya. “Tidak  Bu. Beli Komang pasti kembali. Tiang yakin kata-katanya bisa dipercaya.”

          “Jangan terbius oleh kata-kata maupun wajah Ayu. Ia bisa mengelabui kesadaran kita. Segalanya bisa dibuat-buat.”

          “Tapi Beli Komang tak seperti itu, Bu.”

          Ibunya geleng-geleng. “Kita ke sana saja, Ayu. Tak bagus duduk terlalu lama.”

          “Baiklah!” dengan berat hati Ayu mau mengikuti ajakan ibunya. Ia lihat setiap bangku taman, siapa tahu ada tanda yang ditinggalkan oleh kekasihnya. Musik dan lagu tak pernah putus. Kembang api beraneka rupa meluncur memancarkan beragam warna. Mendekati pergantian tahun, orang-orang berhenti menikmati keramaian. Suasana agak hening. “Kita berdoa bersama, untuk menyambut tahun baru,” panitia kegiatan menginstruksikan.

          “Kita hitung mundur bersama-sama, sepuluh, sembilan, delapan, tujuh, enam, lima, empat, tiga, dua, satuuuuuuuuuuuuu!. Duaaar.  Duaaaaaaaaaaaaaaaaar! Petasan berbunyi. Kembang api meluncur ke udara. Balon udara meninggi pelan-pelan, Selamat Tahun Baru. Gadis itu menoleh ke atas. “Bu, Beli Komaaaaaaaaaaaaaang ada di atas sana. Ia bersama rembulan. Ia mendampingi Dewi Bulan menenun kehidupan. Ayu mau ke sana, Buuuuuuuuuuuu!.”

          “Nak! Nak jangan pergi! Tidak Buuuuuu! Ayu mau bersama Beli Komang di langit biru menikmati rembulan.”

          Gadis itu berlari sekencang-kencangnya hingga ke jalan raya. Tiba-tiba terdengar suara rem mobil menderit teramat keras.

 

Catatan:

Beli: kakak

Tiang: saya


TAGS :

IBW Widiasa Keniten

Ida Bagus Wayan Widiasa Keniten lahir di Giriya Gelumpang, Karangasem. 20 Januari 1967. Lulus Cum Laude di Prodi Linguistik, S-2 Unud 2012. Tulisan-tulisannya tersebar di berbagai media massa berupa esai, karya sastra maupun kajian bahasa dan sastra baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Bali. Cerpen-cerpennya pernah memenangkan lomba tingkat Nasional maupun provinsi.

Komentar