Diskusi Sastra Mengenang Perang Puputan Badung

  • By Ketut Sugiartha
  • 19 September 2023
Tut Sugi

Pura Pengastan yang berlokasi di Banjar Umadiwang, Belayu, Tabanan, kembali menjadi tempat acara diskusi sastra Bali pada hari Minggu, 17 September lalu. Kali ini dengan topik PakelingYudha Panelas Puputan Badung 1906. Mengenang kembali perang heroik antara laskar Kerajaan Badung dan tentara Belanda pada tahun 1906, itulah makna topik tersebut yang direalisasikan dengan membaca dan mengapresiasi Geguritan Bhuwana Winasa karya Ida Pedanda Ngurah dan karya sastra I Gusti Ngurah Made Agung dengan melibatkan dosen dan mahasiswa Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana.

Mengapa Perang Puputan Badung diperingati di Belayu, sebuah desa pekraman yang bukan merupakan wilayah Badung? Mewakili Puri dan Griya Gede Belayu, dalam sambutannya Ida Bagus Dalem Setiarsa memberi alasan, ada dua karya sastrawan Belayu yang dibahas: Bhuwana Winasa dan Yadnya Ukir yang isinya menyangkut peristiwa heroik Perang Puputan Badung dan kedatangan Belanda di Bali. Seperti tahun sebelumnya, yang menjadi bahasan utama dalam rembug sastra yang digagas dan diselenggarakan keluarga besar Griya Gede Belayu itu adalah geguritan Bhuwana Winasa karya Ida Pedanda Ngurah yang adalah leluhur keluarga besar Griya Gede Belayu.

Bhuwana Winasa, geguritan yang mulai ditulis pada tahun 1906 itu adalah karya sastra Bali yang selalu menjadi rujukan utama dalam penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap Perang Puputan Badung, baik oleh para peneliti dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Mengutip penjelasan Ida Bagus Sidemen yang disampaikan pada acara “Nyastra” tahun lalu di tempat yang sama, Dalem Setiarsa menyampaikan bahwa Ida Pedanda Ngurah memang berada di tempat kejadian, tepatnya di merajan Puri Denpasar, ketika peristiwa puputan itu terjadi sehingga suasana perang dapat dilukiskan secara rinci di dalam geguritan Bhuwana Winasa.

Hal itu ditegaskan kembali oleh Drs. I Dewa Gede Windu Sancaya, M.Hum yang diundang sebagai nara sumber pada acara itu. “Benar  kata Tu Aji Ida Bagus Sidemen  seperti yang dikutip Tu Aji Dalem, bahwa Ida Pedanda Ngurah memang ada di Puri pada waktu itu.”

Selain itu akademisi Universitas Udayana itu juga mengungkap bahwa geguritan Bhuwana Winasa, khususnya bagian yang menyebutkan perang puputan, ditulis hanya dua setengah bulan setelah peristiwa itu, tepatnya tanggal 4 Desember 1906. Jadi, Ida Pedanda Ngurah adalah saksi hidup atau saksi mata dari peristiwa itu. Dengan demikian informasi yang beliau sampaikan di dalam geguritan Bhuwana Winasa adalah fakta sejarah.

Bagaimana Ida Pedanda Ngurah dari Geriya Gede Belayu bisa berada di tempat suci keluarga Puri Denpasar? Kedekatan di antara Ida Pedanda Ngurah dengan I Gusti Ngurah Agung yang memungkinkan itu terjadi. Raja Denpasar I Gusti Ngurah Made Agung alias Ida Cokorda Mantuk Ring Rana juga dikenal sebagai sastrawan yang memiliki hubungan dekat dengan Ida Pedanda Gede Sidemen dan Ida Pedanda Ngurah. Sebagai sesama sastrawan tentu wajar jika mereka sering mengadakan pertemuan untuk mendiskusikan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi.

Hal menarik lainnya yang juga dibahas adalah mengenai pengangkatan I Gusti Ngurah Made Agung menjadi Raja Denpasar. Setelah Cokorda Alit Ngurah Pemecutan I mangkat, yang seharusnya naik tahta menggantikannya adalah putranya. Namun, karena putranya baru berusia 6 tahun, maka diangkatlah saudara tirinya, yakni I Gusti Ngurah Made Agung yang dianggap sebagai kecelakaan sejarah.

Meski menyimpang dari tradisi peralihan kekuasaan yang ada, tentu bukan tanpa alasan beliau diangkat menjadi raja. Beliau baru berusia 26 tahun ketika naik tahta. Walaupun tergolong relatif muda beliau telah menunjukkan sikap matang sebagai seorang pemimpin yang memiliki wawasan luas. Beliau adalah seorang pembaca sastra yang hebat dengan referensi yang kaya. Salah satu karya yang menjadi referensi beliau adalah Niti Sastra. Bukan hanya itu, di dalam karya beliau sendiri berjudul Dharma Sasana terselip ajaran bernama giri brata yang bermakna setegar gunung, pantang mundur dalam menghadapi musuh.

Referensi dan karya I Gusti Ngurah Made Agung sendiri yang mendarah daging dalam dirinya tentu bisa menjadi jawaban atas pertanyaan: “Apa sebenarnya yang menjadi motivasi I Gusti Ngurah Made Agung sampai memutuskan untuk berkonfrontasi dengan Belanda lewat perang puputan?”

Terkait dengan pertanyaan yang sama, Putu Eka Guna Yasa, SS, M.Hum, nara sumber lain dari Universitas Udayana, menyampaikan analisisnya dari sudut pandang ajaran agama. Setelah membaca kidung Bhuwana Winasa ia menyimpulkan bahwa perang puputan sejatinya sudah disiagakan. Menurutnya, sebelum memutuskan untuk menghadapi Belanda lewat perang puputan, I Gusti Ngurah Made Agung sejatinya sudah melewati proses yang disebut Tri Pramana.

“Pertama, I Gusti Ngurah Made Agung sudah menjalankan Pratyaksa Pramana, yaitu mencari kebenaran lewat pengamatan langsung atas peristiwa yang terjadi sebelumnya. Kedua, beliau  telah melaksanakan Anumana Pramana, menganalisis tanggapan pihak Belanda setelah beliau menolak tuntutan agar beliau membayar ganti rugi sebesar 3.000 keping perak atas penjarahan kapal Sri Komala yang karam di Pantai Sanur. Ketiga, beliau juga telah menjalankan Agama Pramana, berkonsultasi dengan para wiku selain mendalami sastra agama, baru kemudian memutuskan untuk melakukan perang puputan.”

Dengan demikian peristiwa yang terjadi 117 tahun lalu itu bukanlah cermin rasa frustrasi Raja Denpasar dan rakyatnya melainkan merupakan sikap tegas para kesatria dalam membela kebenaran seperti yang diajarkan Agama Hindu. Makanya generasi penerus yang hidup saat ini diharapkan tidak keliru memaknai peristiwa heroik itu.

Dipandu oleh Prof. Drs. Ida Bagus Putu Suamba, MA,Ph.D. acara yang digelar dalam rangka mengenang dan meperingati Perang Puputan Badung ke-117, 20 September 2023, itu berlangsung mulai pukul 16.00 – 21.00 WITA dan dihadiri oleh sekitar 100 peserta terdiri dari  sulinggih, walaka, keluarga puri, pencinta sastra dan sejarah serta awak media.


TAGS :

Ketut Sugiartha

Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media cetak dan daring. Telah menerbitkan sejumlah buku fiksi meliputi antologi puisi, kumpulan cerpen dan novel. Buku terbarunya: kumpulan cerpen Tentang Sepuluh Wanita, antologi puisi Mantra Sekuntum Mawar dan novel Wiku Dharma.

Komentar