(Kurung Kurawal) Puisi-puisi Impresionis Ketut Landras Syaelendra

Pustaka Ekspresi

Manakala membaca puisi-puisi Landras, saya merasakan ada fokus yang menekankan pada kesan, perasaan, sensasi, dan emosi. Termasuk ketika membaca puisi bertajuk “Kidung Gerimis” ini secara dalam, sangat terasa kesan kepedihan penyairnya atas peristiwa kematian ibunda sang penyair. Oleh karenanya, saya memposisikan puisi-puisinya, cenderung impresionistis.

Mengapa saya berasumsi demikian? Sebab pada puisi-puisi Landras saya temukan ciri pemilihan beberapa detail untuk menyampaikan ‘kesan indra’ yang diakibatkan oleh suatu kejadian atau adegan. Gaya penulisan ini saya rasakan manakala posisi penyairnya, adegan, atau tindakan-dihadirkan dari sudut pandang subjektif terhadap realitas yang dia alami. Oleh karenanya, saya menangkap kesan-kesan inti dari konten ide/gagasan puisi-puisinya, lewat ‘rasa puitika’. Nah, jika keadaan batin penyairnya ‘terbaca’ pada karya puisi-puisinya dan dia lebih mengutamakan pemberian kesan, maka dapat kita simpulkan jenis penggayaan puisinya.

Pengalaman (batin) dalam membaca puisi-puisi Landras itu – khususnya tentang objek, peristiwa, atau problematika yang diperoleh dengan menangkap inti isi puisi dan menginterpretasikan pesan yang dihadirkan, menurut saya adalah sebuah; Persepsi. Ia memberi makna pada stimulus inderawi (sensory stimuli). Bukankah persepsi adalah proses pemahaman atau pemberian makna atas suatu informasi (dalam hal ini puisi) terhadap stimulus. Dari proses persepsi inilah saya ‘menempatkan’ puisi-puisi Ketut Landra dalam antologi ini sebagai; Impresionis dengan segala keutuhannya dalam ‘kurung kurawal’.

Memahami seni sastra “impresionis” tentu tak bisa terlepas dari kategori lain, khususnya surealisme dan simbolisme, eksponen utamanya adalah Baudelaire, Mallarmé, Rimbaud, dan Verlaine. Mereka adalah pengikut dan sahabat-sahabat Baudelaire. Mallarmé menyebut kelompok mereka “The Decadents.” Memang benar, mereka menjalani kehidupan bohemian yang penuh gejolak, dan ‘interaksi’ antara Verlaine dan Rimbaud telah menjadi sumber banyak legenda dan dramatisasi.

Selain sastra dan seni rupa, penggayaan impresionis juga ada dalam dunia musik klasik. Dalam musik, kaitan dengan kata Impresionisme bermula dari para kritikus di akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an yang membandingkan ide musik Claude Debussy dengan ide para pelukis Impresionisme.

Begitulah ulasan saya tentang antologi Fragmen Perkawinan karya penyair Landras Syaelendra. Yang saya titik fokuskan pada kemampuannya menata kata (‘berjiwa’) menjadi suatu himpunan kalimat yang terdefinisi dengan jelas dan dipandang sebagai satu kesatuan utuh. Himpunan dalam ‘kurung kurawal’ itu memiliki kadar puitika indah yang detail dan mendalam. Selain itu, impresi-impresi penyair Landras (yang memang agak introvet) juga saya rasakan manakala membaca puisi-puisinya.

Menurut tafsir saya, puisi-puisi impresionis penyair Landras ini, tak jauh berbeda dengan impresionisme dalam seni lukis atau seni musik. Yang membedakan, hanya medium daya ungkapnya. Warna, kata, nada, dan irama.


TAGS :

Hartanto

Lahir di Surakarta 1958, dan tinggal di Denpasar. Hartanto pernah bekerja sebagai wartawan majalah Matra. Kini, tetap jadi Redaktur Khusus Matranews.id.  Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Atmajaya Jogyakarta ini menulis puisi sejak SMP. Karyanya dimuat di Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Karya, Suara Pembaharuan, majalah Tempo, majalah Hai, majalah Ceria, majalah kebudayaan BASIS, majalah Femina, tabloid Wanita Indonesia, dan Jurnal Kebudayaan CAK. Beberapa puisinya diterjemahkan oleh penyair Amerika Thomas Hunter, dan dimuat di beberapa majalah terbitan Perancis. Hingga kini, acap menulis beberapa pengantar buku seni dan budaya. Belakangan memilih menjadi ‘petani’ di Bali Utara.

Komentar