Bahasa Bali Ketinggalan Jaman?

  • By Made Eva Trisna Dewi
  • 01 Januari 2024
Pustaka Ekspresi

Bahasa Bali merupakan salah satu dari ratusan bahasa daerah yang ada di Indonesia dan termasuk dalam 13 besar jumlah penutur terbanyak. Keberadaan bahasa daerah termasuk bahasa Bali kebanyakan menjadi bahasa ibu di daerahnya masing-masing. Kepedulian terhadap bahasa daerah atau bahasa ibu sudah ditunjukkan oleh masyarakat Internasional dan pemerintah Indonesia dalam upaya mempertahankan bahasa-bahasa daerah.

Sebanyak 726 dari 746 bahasa daerah yang ada di Indonesia terancam punah karena generasi muda enggan memakai bahasa daerah. Bahkan dari 746 bahasa daerah tersebut kini hanya 13 bahasa daerah yang jumlah penuturnya lebih dari satu juta orang, itu pun sebagian besar generasi tua.

Ada pun bahasa-bahasa tersebut adalah bahasa Jawa, bahasa Batak, bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Bugis, bahasa Madura, bahasa Minang, bahasa Rejang Lebong, bahasa Lampung, bahasa Makassar, bahasa Banjar, bahasa Bima, dan bahasa Sasak. Bahasa Bali masih terbilang memiliki jumlah penutur yang banyak. Meskipun demikian, penggunaan bahasa Bali sudah mengalami dinamika di masyarakat.

Jika diperhatikan secara garis besar lingkungan kebahasaan orang Bali antara dahulu dengan sekarang sudah terdapat banyak perbedaan. Perkembangan sosiokultural menyebabkan orang Bali akhirnya mengenal beragam budaya dan juga bahasa. Jaman yang terus berkembang, kemajuan teknologi yang tidak bisa dielakkan dan informasi yang semakin sulit untuk disaring memiliki potensi yang sangat besar dalam perkembangan bahasa. Hal ini sangat memerlukan perhatian bagi kita penutur asli bahasa Bali.

Bahkan saat ini bisa kita temukan pada lingkungan keluarga sudah tidak menggunakan bahasa Bali sebagai bahasa sehari-hari melainkan menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa Ibu atau bahasa pertama pada anak.

Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa pola pikir yang keliru dalam menilai bahasa Bali. Bahasa Bali dianggap sebagai bahasa yang kuno, ketinggalan jaman bahkan pembelaan yang saya temukan pada ibu muda yang mengajarkan bahasa Indonesia pada anak pertamanya adalah “harus dari awal diajarkan bahasa Indonesia karena supaya cepat bisa berinteraksi di sekolahnya.”

Jika semua ibu muda dan anak-anak tidak lagi menjadikan bahasa Bali sebagai bahasa Ibu mereka maka bahasa Bali berpotesi akan mengalami kepunahan di masa mendatang.

Sebelum itu terjadi hal pertama yang perlu dilakukan adalah meningkatkan, menanamkan loyalitas terhadap bahasa Bali. Ajarkan bahasa Bali pada bahasa pertama anak. Cintai bahasa Bali sebagai bentuk cinta dan hormat kepada leluhur.

Selain itu kita juga bisa memberikan dukungan-dukungan kepada pembuat konten bahasa Bali untuk terus berkarya mempublikasikan bahasa Bali. Hal itu sudah dilakukan penelitian oleh Suciartini (2018) dengan judul Pemertahanan Bahasa Bali dalam Parodi “Hai Puja” dengan menggunakan kajian Sosiolinguistik penelitian tersebut melihat pemertahanan bahasa Bali melalui pengamatan beberapa konten video seperti “Anak Kuliah Jaman Now”, “Mantu Cager”, “Selamat Hari Ibu, Meme”, dan “Celengan Out”.

Orang yang akrab dipanggil Puja ini merupakan pembuat konten di YouTube dan media sosial lainnya. Konten yang dibawakan sangat menarik perhatian penonton dengan menggunakan bahasa Bali logat Buleleng yang kental. Konten video @haipuja tidak hanya sekadar menampilkan komedi untuk menarik perhatian masyarakat, tetapi juga menonjolkan kelakar dengan pesan moral yang mengedukasi para penonton.

Hasil penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa pemertahanan bahasa Bali versi konten video @haipuja dipengaruhi oleh faktor loyalitas terhadap bahasa Ibu, sikap bahasa golongan muda, dan penggunaan bahasa Bali oleh kelompok dan media sosial. Dengan demikian, pemertahanan bahasa Bali dalam parodi “Hai Puja” menampilkan keberpihakan konten kreator sebagai penutur bahasa serta didukung oleh pengemasan yang baik menjadi penentu kebertahanan bahasa tersebut.

Maka dari itu kita sebagai masyarakat Bali harus sadar bahwa bahasa Bali merupakan warisan yang harus dijaga dan dilestarikan. Hal itu bisa kita mulai di lingkungan keluarga dan dukung pembuat konten berbahasa Bali agar bahasa Bali dapat dikenal hingga mancanegara.


TAGS :

Made Eva Trisna Dewi

Lahir di Denpasar, 28 November 2002 menempuh pendidikan di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia dengan konsentrasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia. Menggemari musik membaca novel.

Contac        : [email protected]

IG      : evatrisna00

Komentar