Buku Catatan Sinta | Cerpen DN Sarjana

  • By Dewa Nyoman Sarjana
  • 22 Januari 2023
kolase pixabay

“TENG... teng... teng”.

Bel sekolah berbunyi. Aku sedikit berlari menuju ruangan kelas. Ternyata aku tak sendirian terlambat. Pagi itu kami seolah lomba lari menuju kelas masing-masing. Ruang kelas IPS cukup jauh, paling pojok, lokasinya dekat kantin. Sebelum sampai di kelas, aku melihat buku catatan tergeletak di gang sekolah. Tanpa piker panjang, aku selamatkan buku itu dan bergegas masuk barisan. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, semua siswa dikumpulkan di lapangan. Guru berikan arahan. Tidak lebih dari lima belas menit, siswa dibubarkan untuk masuk kelas masing-masing.

Sesampai di kelas, aku ambil buku catatan yang kupungut dan kuperhatikan dengan seksama. Ternyata itu catatan Bahasa Indonesia. Tulisan di dalamnya sangat rapi dan indah. Aku penasaran dengan pemilik buku catatan itu. Kubolak balik halaman demi halaman. Rupanya di pinggiran buku itu tertulis Sinta IPA 2. Apakah Sinta teman sekelas sebelum penjurusan? Aku putuskan mengamankan buku catatan itu. Besok atau lusa pasti ada kabar kehilangan buku.

Isu kehilangan buku catatan ramai dibicarakan di kalangan teman siswi.

“Rama, kamu lihat buku catatan nggak? Bukunya Sinta hilang. Kemarin dia agak terlambat dan bukunya kemungkinan terjatuh,” tanya Pandu padaku.

“Kok nanyanya ke aku? Aku kemarin juga terlambat ke sekolah!”

“Katanya kau papasan sama Sinta?”

“Apa hubungannya papasan dengan buku catatan? Ah... kamu seperti detektif saja.” Aku coba meyakinkan sambil menepuk bahunya. Aku sudah kadung salah langkah, berusaha sembunyi. Ada perasaan malu, nanti dikira ada hal istimewa dengan Sinta.

Waktu terus berlalu. Aku berusaha menutup rapat tentang buku catatan itu. Jumat depan kesempatan terbaik mengembalikan buku itu. Hari itu, siswa kelas IPS 1 berbarengan olahraga dengan siswa kelas IPA 2. Tapi bagaimana caranya? Aku memikirkan cara untuk mengembalikan buku itu. Ternyata susah juga.

Waktu yang dinanti tiba. Tidak seperti biasa aku datang lebih pagi. Mataku seperti burung hantu mengawasi Sinta datang. Dari pojok timur aku lihat Sinta datang. Tanpa membuang waktu aku langsung mendekatinya.

“Sin, aku titip catatan ya. Silakan buka sepulang sekolah. Buka di rumah kos!”

Sinta kelihatan bingung. Lama dia menatapku. Dia mengambil buku itu. Tak sengaja tangan kami bersentuhan.

“Makasi Rama.”

Sinta bergegas menjauh mencari temannya. Sinta tidak fokus lagi menerima pelajaran. Dia belum paham tentang buku yang diberikan Rama. Dia ingat kehilangan buku catatan, tapi sudah lama dan tak kunjung ketemu apalagi ada yang mengembalikannya.  

Bel pulang sekolah berbunyi. Sinta bergegas menuju rumah kos. Sesampai di kamar, tidak seperti biasanya dia buka sepatu dang anti pakaian. Dia mengambil buku catatan yang diberikan Rama.

“Uh, ternyata buku catatanku!” katanya dalam hati.

Sinta jadi tenang, buku catatan sudah ketemu. Dia membiarkan buku itu tergeletak di meja belajar. Menjelang malam, dia baru menata buku untuk persiapan belajar. Iseng dia buka catatan yang diberikan oleh Rama. Ternyata di dalamnya berisi selembar kertas.

“Sin, maafkan aku ya. Lama menyembunyikan catatanmu. Seperti lamanya aku menyembunyikan perasaan cinta kepadamu. Aku memberanikan diri mengungkap kata cinta karena jauh lebih menyesakkan bila aku pendam. Trims. Dari Aku, Rama.”

Dada Sinta bergetar. Dia tak menyangka Rama menaruh perhatian kepadanya. Dia merasa sedih. Mengapa Rama baru menyampaikan ketika cintanya telah berlabuh di tempat lain? Malam itu mata Sinta sulit terpejam. Buliran hangat menetes menemani penyesalan. Dia sadar, perempuan tidak pantas menyatakan cinta lebih awal. Sinta mengambil selembar kertas dan mengungkap perasaannya.

“Rama, terima kasih atas perhatianmu. Besok kita ketemuan di kantin saat istirahat jam kedua sebelum kita pulang. Ada yang ingin aku sampaikan. Salam dari aku, Sinta.”

Sambil melaksanakan tugas piket, Sinta dengan sabar menunggu Rama. Dari jauh dilihatnya Rama sudah tiba di sekolah. Dia kagum. Rama laki-laki ganteng, sopan, dan pintar. Selembar kertas itu pun sudah beralih ke genggaman Rama. Lalu mereka berpisah. Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tidak terasa bel pulang sudah berbunyi. Sinta dan Rama sepakat bertemu di kantin.

“Hai, Sinta,” sapa Rama. Sinta tersenyum.

“Sin, maafkan aku yang lancang mengeluarkan kata-kata dalam surat itu.”

Sinta langsung menangis dan merebahkan kepalanya di sandaran Rama.

“Rama, mengapa baru kau katakan cinta padaku. Mengapa? Aku sangat menyesal. Aku sedih. Aku sangat mencintaimu. Tapi aku tak kuasa memutus pilihan keluargaku,” kata Sinta sesenggukan.

Sinta yang tak kuasa menahan tangis. Seperti tersambar petir perasaan Rama mendengar jawaban gadis manis pujaan hatinya. Dia tidak menduga Sinta sudah melabuhkan cinta di dermaga yang lain. Rama berusaha menutupi kegalauan sambil menenangkan Sinta.

“Sin, kamu tidak bersalah. Akulah yang bersalah. Sebagai laki-laki mestinya aku lebih berani mengungkapkan rasa cinta. Mari kita terima kenyataan ini. Mungkin di kelahitan ini kita tidak jodoh. Entahlah nanti…..”

Sinta menatap wajah Rama. Mereka saling berpelukan dan sepakat untuk berpisah.

Buku catatan itu memberi pelajaran bahwa cinta itu misteri.


TAGS :

Dewa Nyoman Sarjana

Ketua PGRI Kabupaten Tabanan ini suka menulis artikel dan karyanya tersebar di sejumlah media cetak. Pernah menjabat Kasek SMP di kota Tabanan, Pupuan, Baturiti, dan SMPN 2 Kediri. Belakangan ini, dia gemar menulis puisi dan cerpen berbahasa Bali maupun Bahasa Indonesia. Punya hobi berkebun dan pecinta tanaman hias. 

Komentar