Penari

  • By Dewa Nyoman Sarjana
  • 28 Desember 2022
Karya Wiguna Negara

LANGSE tersingkap. Perempuan mulai meliukkan badannya seirama bunyi gamelan. Jemari sejajar digetarkan. Gelung di kepala berhias bunga kamboja dan hiasan emas serta manik-manik menambah anggun penampilan penari. Tiga buah dupa dengan asap mengepul di kiri kanan serta di tengah gelungan menunjukkan kesan magis. Sekali-sekali tersenyum, tak lama sorot mata tampak sangat tajam. Gamelan semakin kencang, penari berputar meliak-liuk di tengah kalangan.

Dari pinggir kalangan lelaki tua dengan pakaian serbaputih memegang sesuatu di tangannya. Tampaknya itu air suci dan seikat ilalang. Dia mengikuti gerak penari yang seolah semakin tidak terkontrol. Suara gamelan makin kencang. Penari menghentakkan tariannya kemudian jatuh lunglai. Ada dua lelaki yang memanggul tangan penari. Tampak lelaki tua memercikkan air suci. Sang penari berbisik pada lelaki tua sambil memegang bahunya. Tiada yang mendengar. Kemudian penari meminta air suci untuk diminum. Dia terjatuh dan benar-benar lemah. Ternyata lelaki tua itu pamangku di Pura Dalem tempat pementasan. Hanya dia yang tahu rahasia dari peristiwa tadi.

Pamedek satu persatu meninggalkan Pura Dalem. Tarian itu rangkaian penutup piodalan. Memang tradisi di desa ini, nyineb karya diakhiri dengan tarian yang penarinya telah melalui proses nunas baos dan dilakukan oleh gadis bajang yang telah ditunjuk secara niskala. Suasana nampak semakin sepi. Hanya tinggal prasayang, pamangku, penari, dan orang tuanya. Seorang pemuda dengan setia menunggu duduk agak jauh. Dia memperhatikan perempuan penari tadi.

“Beli masih di pura?”. Penari mendekati laki-laki tadi.

“Ya. Beli juga tidak ada acara malam ini. Komang sudah pulih? Kelihatan tadi sangat lelah menari.”

“Biasa saja, Beli Putu. Kan Komang sudah biasa menari.”

Laki-laki itu menjadi bingung. Padahal dia melihat langsung bagaimana Komang Ayu, kekasih menari hampir mengitari seluruh panggung tanpa diam. Sampai-sampai penabuh kelihatan lelah mengikuti tariannya. Hari terus berlalu. Kehidupan Komang Ayu berjalan seperti sedia kala. Dia baru saja bekerja di sebuah vila di Canggu. Demikian juga Putu Agung. Dia menjadi staf manajer di hotel Legian. Putu yang mengikuti peristiwa di Pura Dalem, selalu mengingat. Ada apa dengan pacarku Komang Ayu? Apakah dia mengikuti tren sekarang dimana orang-orang sering karahuan? Apakah dia bisa menjadi istriku nanti? Apakah aku harus bercerita dengan dia? Berbagai pertanyaan berkecamuk. Hingga di suatu hari pertemuan berdua terjadi.

“Komang dapat libur?” Putu Agung memulai percakan, sambil meminum kopi.

“Ya Beli Putu. Kemarin Komang ambil pagi, sore. Kebetulan ada teman tukar shift.

“Komang, Beli mau nanya, kok waktu tampil di Pura Dalem, Komang seperti trance saat menari?”

“Masak, Beli? Komang merasa biasa saja. Cuma sih agak lelah karena lama mungkin.”

Putu Agung menangkap sesuatu yang berbeda dari aura dan ucapan yang disampaikan Komang Ayu. Dia sering mendengar kalau orang benar-benar kesurupan tidak akan merasakan apa yang terjadi saat dia melakukan. Sambil menghela napas Putu Agung melanjutkan percakapan.

“Memang Komang tidak merasakan apa-apa saat menari?”

“Ya, pastilah merasa menari.”

“Boleh Beli bercerita sedikit?”

Setelah menganggukkan kepala, Putu Agung menceritakan apa yang dialami Komang Ayu saat menari. Dia katakan bahwa Komang kesurupan. Setelah diperciki tirta baru sadar kembali.

“Masak begitu Beli?”

“Ya, benar. Komang sepertinya tidak seperti Komang biasanya. Kau menari sangat lincah dan beraura. Tidak kelihatan lelah.”

Menutup percakapan, mereka sepakat bertanya ke Jro Mangku Dalem untuk menanyakan apa sesungguhnya yang terjadi. Jro mangku dengan lugas memberi petunjuk.

“Jro mangku, apa yang harus kami lakukan?” Komang Ayu bertanya dengan nada ragu.

“Begini, Komang dan Putu. Bapa saat melangsungkan piodalan itu kan dibisiki. Komang Ayu itu secara niskala perempuan melik. Itu wajar, karena orang tuanya memang pangayah di kahyangan. Itu proses turun temurun.

“Kami takut cibiran orang-orang karena banyak orang karahuan sekarang.”

“Ah, itu kata-kata orang yang tidak paham atau juga ada orang maboya agar dikira karahuhan,” jawab jro mangku.

“Jujur jro mangku, saya bingung. Apakah kami tidak boleh pacaran?”

Komang Ayu bertanya dengan polosnya. Jro mangku tersenyum. “Bukan itu maksudnya. Kalian tetap boleh berpacaran, tapi batasnya sangat ketat. Harus tetap menjaga kesucian karena sebelum melangsungkan perkawinan, dia akan tetap ngayah menari saat piodalan.”

Mereka berdua saling tatap. Ada semacam keraguan yang terpendam. Apakah mampu menerima tugas ini? Apakah suasana kehidupan yang berbeda tidak mengganggu perjalanan ke depan?

“Apakah Beli Putu ragu menerima keberadaan hidup Komang?”

“Tidak Mang. Beli sudah siap menerima dirimu dalam suasana apa pun. Apalagi tugas bukan kita minta dan bukan kita yang ngatur. Bukankan Hyang Widhi yang akan mengatur hidup kita?”

Komang Ayu memegang tangan Putu Agung dengan erat. Dia heran tapi sangat percaya sebagai penari, menemukan jalan hidup dan pasangan hidup sesungguhnya.

 

Tabanan, 22-12-2022

Catatan:

Langse = tirai

Pamangku = tokoh yang disucikan

Karahuan = trance

Nunas baos = Mohon petunjuk


TAGS :

Dewa Nyoman Sarjana

Ketua PGRI Kabupaten Tabanan ini suka menulis artikel dan karyanya tersebar di sejumlah media cetak. Pernah menjabat Kasek SMP di kota Tabanan, Pupuan, Baturiti, dan SMPN 2 Kediri. Belakangan ini, dia gemar menulis puisi dan cerpen berbahasa Bali maupun Bahasa Indonesia. Punya hobi berkebun dan pecinta tanaman hias. 

Komentar