Hilangnya Penyemangat Hidup

  • By Ni Kadek Adiyani Rahmaputri
  • 02 Januari 2023
pixabay

Dalam kehidupan ini ada banyak kejadian yang tidak terduga yang terkadang menimpa kita. Seperti itulah yang aku rasakan pada tahun ini, kejadian yang tidak semua orang inginkan terjadi pada keluargaku.

Namaku Karina. Aku adalah anak perempuan dari dua bersaudara. Aku punya keluarga kecil yang lengkap, ibu, bapak, dan kakak. Kami hidup dengan rukun dan damai. Karena itu aku disebut sebagai orang dengan berkepribadian yang ceria, tidak pernah mengeluh, berbudi baik, dan lain-lain. Di SMA, aku selalu mendapatkan ranking 3 besar. Setamat SMA, aku melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Hari-hariku di semester pertama sangat menyenangkan, bertemu dengan banyak teman di beberapa prodi.

Tetapi kejadian yang tidak semua orang inginkan terjadi pada keluargaku. Jam 8 pagi ketika aku sampai di kampus, aku mendapat telepon dari kakakku. Dia mengabarkan bapak di rumah sakit. Aku pergi ke rumah sakit. Sesampainya di sana, aku melihat kakak dan ibuku di ruang tunggu UGD dengan wajah cemas. Tak lama kemudian, dokter keluar dari ruangan UGD dan mengatakan bapak kena serangan jantung. Pasien harus rawat inap sampai keadaan benar-benar pulih. Bapak memang mengidap penyakit jantung coroner, tetapi tidak pernah sampai seperti ini. Setelah itu kami berbagi tugas. Kakak dan ibuku pergi ke ruangan adminitrasi untuk memesan kamar dan aku masuk ke dalam ruangan UGD melihat keadaan bapak. Melihat bapak yang telah dipasangkan oksigen dan infus membuatku ingin menangis. Aku bertanya kepada bapak.

“Pak, bagaimana keadaan bapak? Apakah sudah baikan?”

“Tidak sesakit tadi, Rin” jawab bapak lemas

“Karin belikan roti dan air putih ya?”

“Iya boleh Rin, tapi bapak tidak diizinkan sarapan terlebih dahulu karena bapak akan di rontgen jantung.”

“Ooo iya pak, Karin belikan saja ya.”

Aku pergi ke kantin beli roti dan air putih. Sesampainya aku di ruangan UGD, dokter memberitahuku bahwa bapak akan dibawa ke ruang rontgen. Aku langsung menunggu di ruang tunggu. Tak lupa beri tahu kakak dan ibu bahwa bapak di ruangan rontgen. Sekitar 15 menit bapak selesai di rontgen. Kami bertiga dipanggil dan dokter memberikan penjelasan kepada kami tentang hasil rontgen. Dokter mengatakan kondisi jantung bapak sudah parah. Kemungkinan ada serangan jantung kedua kalinya, itu akan lebih parah. “Kita doakan semoga pasien tidak mengalami serangan jantung yang kedua kalinya,” kata dokter.  

Setelah itu kami langsung ke ruangan rontgen dan bapak terlihat sangat kesakitan. Bapak menyuruhku mengusap-usap dadanya yang sakit. Tak lama kemudian bapak kejang-kejang. Aku langsung berteriak memanggil dokter. Dengan cepat dokter dan perawat memindahkan bapak ke ruang tindakan. Kami melihat di pintu, dokter dan perawat berusaha sekuat tenaga menolong bapak. Tak lupa kami berdoa kepada Tuhan agar bapak selamat.

Setelah 1 jam menunggu, dokter membawa sebuah kertas dan dilihat dari ekspresinya aku curiga seperti akan ada yang terjadi pada bapak. Dokter memanggil kami bertiga dan memperlihatkan kertas yang ia bawa kepada kami. Ternyata itu hasil denyut jantung bapak selama tindakan. Dokter menjelaskan pasien sudah meninggal dunia. Mendengar penjelasan dari dokter, kakakku langsung menelepon saudara-saudara yang lain untuk datang ke rumah sakit. Kami bertiga langsung ke ruangan tindakan dan melihat bapak sudah terbujur kaku dan pucat. Kami bertiga menangis histeris. Kami tidak menyangka bapak akan meninggalkan kami secepat ini. Aku tidak ingin bapak meninggalkanku secepat ini. Bapak adalah semangatku untuk tetap melanjutkan hidup. Bapak yang selama ini selalu ada di sisiku. Aku tidak ikhlas bapak meninggalkan kami secepat itu ucapku kepada bapak.

Tak lama kemudian keluarga yang lain berdatangan. Mereka semua tidak menyangka bapakku akan meninggal secepat ini. Setelah itu, keluarga yang lain dan ibuku mengurus administrasi dan ambulans. Bapak akan dimakamkan di kampung halaman. Aku dan kakak pulang duluan untuk mengemas baju dan perlengkapan lainnya untuk dibawa ke kampung. Setelah mengemas semuanya, aku dan kakak langsung menuju rumah sakit. Ambulans sudah siap mengantarkan jenazah bapak ke kampung halaman.

Dua jam perjalanan akhirnya kami sampai di kampung halaman. Kami disambut oleh keluarga dan membantu petugas ambulans memindahkan jenazah bapak ke tempat yang sudah berisi batang pisang dan di dalamnya sudah berisi es batu agar jenazahnya awet hingga hari bapak dimakamkan. Jenazah bapak ditutupi kain. Semua keluarga yang ada di kampung menangis. Mereka tidak menyangka bapak akan meninggal secepat ini. Hari dimana bapak akan dimakamkan tiba, kami bertiga dan semua keluarga pergi mengantarkan jenazah bapak ke tempat pengistirahatan terakhirnya. Dari mengantarkan hingga sampai di tempat pengistirahatan terakhir, aku tidak berhenti menangis. Meninggalnya bapak seperti mimpi bagiku. Aku masih merasakan bapak ada di sekitarku dan aku selalu berdoa agar bapak hidup kembali. Tetapi apa yang aku lakukan sia-sia, sudah terlambat karena bapak sudah dimakamkan. Proses pemakaman sudah selesai. Kami pulang ke rumah masing-masing.

Keesokan harinya aku merasakan suasana rumah seperti kota yang mati. Sepi, tidak ada suasana yang menyenangkan seperti dulu lagi. Tidak ada canda tawa di sini. Melihat foto keluarga yang terpajang di tembok membuat kami menangis kembali mengingat memori-memori indah bersama bapak. Ibu menasehatiku, “Rin, sekarang bapak sudah tidak ada lagi. Kamu harus kuat ya nak. Tetap semangat menjalani aktivitas seperti biasa, rampungkan semester kuliahmu hingga lulus. Bapak pasti bangga di sana kamu bisa lulus menjadi sarjana.”

Aku hanya bisa mengatakan ya saja kepada ibu. Di dalam hati sebenarnya aku bertanya-tanya apakah diriku ini bisa melakukan aktivitas seperti biasanya. Satu bulan setelah meninggalnya bapak, di kepalaku masih terkenang memori menyedihkan yang aku alami. Dengan pikiran seperti itu, aku tidak fokus untuk kuliah. Aku selalu menunda mengerjakan tugas kuliah apalagi menjalani aktifitas seperti biasanya. Melihat kedekatan bapak dengan anak di luar sana membuatku ingin menangis. Aku sangat ingin memeluk dan berkeluh kesah dengan bapak. Aku benar-benar kehilangan semangat untuk hidup. Aku perlu bapak di sisiku yang selalu menyemangatiku. Melihat aku murung dan tidak ceria seperti dulu, salah satu temanku, Rani mendatangiku dan bertanya.

“Rin, kenapa kamu selalu murung akhir-akhir ini?”

“Iya Ran, penyemangat hidupku telah berpulang. Beliau adalah bapakku.”

“Rin, aku mengerti dengan apa yang kamu rasakan. Dulu aku juga sepertimu, bapakku meniggal karena sakit. Awalnya aku sangat sedih dan tidak ingin melanjutkan hidup tetapi aku harus bangkit karena ada ibu dan adikku yang masih ada untuk aku bahagiakan. Kamu harus semangat dan harus bisa mengikhlaskan kepergian bapakmu agar beliau tenang di sana. Memang itu sangat sulit Rin, tapi aku yakin kamu pasti bisa bangkit dari kesedihan ini.”

“Terima kasih Ran karena sudah menyemangatiku. Aku akan mencoba untuk bangkit dari kesedihan ini,” jawabku sambil menangis.

Dua tahun kemudian, aku mulai menata hidupku seperti sedia kala. Kini aku mulai fokus untuk mengikuti perkuliahan dan aktifitas sehari-hari. Aku senang dan bersyukur bisa melewati masa-masa pahit ini. Aku datang ke pemakaman bapak dan mengatakan terima kasih. Semasa bapak hidup sudah mendidikku menjadi anak seperti ini, selalu membuatku bahagia, tersenyum, dan tertawa. Sekali lagi terima kasih kuucapkan, aku bersyukur memiliki seorang bapak seperti ini. Aku kan selalu datang ke sini untuk menjenguk dan selalu berdoa agar bapak mendapatkan tempat yang terbaik dan tenang di sana. Walaupun aku dan bapak beda dunia tapi bapak akan selalu menjadi bapakku untuk selamanya. Tidak ada seorang pun yang boleh menggantikan bapak. Kenangan bapak akan selalu tersimpan di kepalaku.


TAGS :

Ni Kadek Adiyani Rahmaputri

Ni Kadek Adiyani Rahmaputri lahir di Singaraja, 9 Oktober 2002 menempuh pendidikan di Universitas PGRI Mahadewa Indonesia. Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia dan Daerah.

Contac: [email protected]

IG: adiyanirahma

Komentar