Lima Puisi Thomas Elisa

  • By Thomas Elisa
  • 05 Agustus 2023
Pexels

KOPOR 

Ia adalah semesta kecil
ruang berpuncak kekosongan 
tanpa ujung dan garis perlintasan 
semua tak berwarna kecuali hampa
serupa kanvas putih pelukis 
yang belum tergores titik garis 

di sini kehendak tak terbersit
keinginan dan hasrat hilang kesadaran 
bahkan ingatan tak  dibutuhkan 
cukup hening bertaut hening 
gangga, lumut, dan kisah penciptaan
sama sekali tidak terpikirkan 

sampai kau putuskan kehendak 
mengisi  kopor dengan nasib perjalanan
melipat potongan pakaian dan jarak 
menuju ke tempat-tempat asing 
sesuai dengan petunjuk brosur

isi brosur yang kau baca
meramalkan  nasib bahagia untukmu
ratapan masa silammu segera sirna
dan tidurmu ditemani mimpi nirwana 

tapi, kau melupakan sesuatu 
bahwa di balik brosur menarik
ada getir yang biasa mengendap
siap memangsamu diam-diam 
dan itulah yang  kau jumpai 
saat nasibmu menjejak  kota asing

cuaca begitu sakit di sana 
kemarau  penuh demam kelicikan 
hujan menurunkan jarum bebatuan
malam dipenuhi hantu insomnia
kau tersedu di dalam isak 
mengalirkan bulir tangisan 
ke atas  kopor yang kau bawa

semenjak itulah,
kisah penciptaan terjadi
mengisi semesta kecil kopormu
yang mulanya kosong tanpa keinginan 
kini menjelma dunia baru: 

seorang anak kecil muncul 
terdiam meringkuk merintih  
memanggil manggil nama ibu  
merindukan jalan kepulangan 
dan anak itu adalah dirimu 
(Surakarta, 2023)

 

BALADA TIKET KEBERANGKATAN

Bukan soal kota tujuan 
tapi mengenai pergulatan panjang 
sebelum kita cetak titik keberangkatan 
ada pergulatan nyeri tanpa henti 

sebab hasrat begitu cepat memerangkap
meletakkan kita pada simpang kerumitan: 
pulang ke nasihat ibu atau memilih
mengenakan gerlap di kota turis  
menjadi pergulatan sepanjang waktu

tak ada cukup ruang untuk berpikir
keinginan mendadak melesat begitu cepat 
membanting tiap-tiap periuk akal
melemahkan doa-doa yang kita baca  
dan menyeret langkah ke kota turis 
lalu kita tersungkur sebagai pemabuk
 
“Bangun dari ilusimu” gema suara ibu
entah berapa lama kita nyaris binasa  
disesatkan hasrat yang semakin kuat 
sedang kita kian lemah dimakan cuaca
padahal nasihat ibu masih belum dilengkapi


di sisa-sisa tenaga penghabisan
kita coba sadarkan berdiri 
seperti pemeran film Balboa 
kita harus  kanvaskan jebakan hasrat
dan memesan tiket menuju  nasihat ibu

(Surakarta, 2023) 

 

HIKAYAT KERETA
(Untuk Pak Aris dan Pak Happy) 

Ia serupa perahu nabi Nuh 
mengapung tenang di atas daratan 
menempuh baris-baris malam dan mimpi 
mengarungi bosan demi bosan di atas rel panjang
tanpa pernah mengucap keluh sepatah 

Dia pikul di punggungnya
beragam  balada lara  para penumpang
dibunyikannya deru penanda laju 
sebagai isyarat bahwa tak ada yang menyerah 
hingga semuanya tuntas di stasiun tujuan 

Kereta itu terus melaju 
seperti kapal nabi Nuh dahulu 
merayap perlahan di tepian  gelap waktu 
mencari letak  perhentian yang dijanjikan 

(Surakarta,  2022)

 

MOBIL

Sejujurnya ia tamsil 
mengenai persahabatan sejati
saat endapan kota mengapur di tulangmu 
raung monitor membebani pundakmu 
lengking masa depan menghantuimu
ia berdiri setia di halaman luas 
menyiapkan bilik perawatanmu

kau tinggal membuka pintunya 
menyalakan mesin penggerak 
dan tubuhnya akan menampungmu 
tanpa rasa pamrih dan risih apapun 
diturunkannya  pelan-pelan bebanmu 

ia tempuh jarak ribuan kilo
untuk melepaskan dera tubuhmu
dipupusnya sawan yang menggantung
dipulihkannya trauma tersembunyi
bahkan tangismu paling sedan
disimpannya penuh rapi dalam jok  

ajarkan pada sesiapa saja 
bahwa untuk arif bersahabat
cukup belajar padanya :
menerima segenap cerita 
memikul  sekumpulan beban 
dengan diam penuh kerelaan 

(Surakarta, 2023)

 

EPISODE TERAKHIR

Kita saling menyekapati di sini 
bahwa senja nanti terakhir kalinya 
kita bermain dalam siklus penipuan 
yang mengilusi pikiran dan indera kita 

Sama seperti siklus sebelumnya 
kau menyiapkan buih pada tubuhmu
yang nantinya menjadi gulung ombak 
aku bersiap dengan berenang di atasnya 
seraya menikmati nyanyian mabukmu 
menuju dermaga untuk berteduh 

“Ini yang terakhir kan?” tanyamu 
“Ya semua harus usai” kataku 
senja tanpa warna akhirnya tiba 
kita bergegas pergi dan tidak kembali 

(Surakarta, 2022) 
 


TAGS :

Thomas Elisa

Thomas Elisa, lahir 21 September 1996 di kota Surakarta. Penulis tinggal di Pucangsawit RT 01/RW 03, Kecamatan Jebres, Surakarta. Penulis telah menempuh jenjang pendidikan di antaranya : TK Kristen Petoran (2001-2002), Sekolah Dasar Kanisius Pucangsawit (2002-2008), Sekolah Menengah Pertama Negeri 20 Surakarta, (2008-2011), Sekolah Menengah Atas Negeri 8 Surakarta (2011-2014). Penulis juga telah menyelesaikan program Strata-1 di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS) pada Juni 2018 lalu. Karya terbaru penulis adalah novel fiksi anak berjudul Bangunnya Peri Merah (2017). Penulis mengajar di sekolah SMK Mikael Solo.

Komentar