Puisi-Puisi Dimas Julian Anggada

  • By Dimas Julian Anggada
  • 08 Oktober 2023
Pexels

yang terpendam


dan badai yang memburu ini,
adalah kata yang tak akan kuungkapkan kepadamu.

dan yang mungkin telah terkapar ini,
adalah kembang yang tak lagi terangkut musim.

“aku selalu berkhayal tentang hari
yang tak akan terjadi,”

“sejak saat itu, atau barangkali,
sejak kita masih jauh.”

*

aku mungkin telah rubuh
saat sakit hati sedang tumbuh.

menyerupai arang yang tenggelam
di dalam panas yang beruntun,

aku sungguh akan berbahagia
jika kau masih mengingatku

dengan penuh.

2023

 

canting terakhir
            —untuk Isah

kau kira tetes malam ini akan jatuh di kain itu, kasih?
seperti kau kira kau mampu meremas duka di pelukan ibu?
dan di ruangan ini, ketika tiada lagi angin yang mampir,
apakah kau akan goreskan jarik ini untuk seseorang?

selepas kupukupu yang kau lepas,
serbuk sayapnya akan membekas
pada sidomukti itu bagai seberkas
cinta yang bening dan jelas.

walaupun batik itu telah menua,
kau tentu masih menyimpan rindu untuknya.

selamanya, kau akan ingat dengan setia
segala percakapan dulu, juga seluruh
cinta yang utuh dan telah terlambat itu
—yang kini perlahan menyisa gema.

“dan masih adakah sisa tinta untukku?
untuk sekar jagad terakhir yang akan kutoreh
di hari penghabisanku, kasih?”

2023

 

sidomukti


setelah menadah rintik yang memburu,
kau telah jadi bayang di atas rumput runduk.
dengan bulu dan sayap yang tak terhitung,
kau membelakangiku untuk menjauh, dan
kain yang terhampar di dekatmu kini, telah
menjelma ranting tua untukku.

2023

 

jarik


beragam corak telah dibayangkan, dan sebelum
malam merenggut banyak tinta pada kain itu,
segalanya belum tergores.

kain yang belum jadi itu,
yang putih polos seperti dosa yang belum tiba,
adalah kenangan terakhir sebelum pada akhirnya
terkubur basah di bawah hujan.

dan duka yang telah mampir,
mendesis padamu bahwa waktu tak selalu hadir.

2023

 

pecahan


setiap ingatan kini
telah jadi remahremah
yang mudah terhempas, dan
tanggaltanggal yang berlalu
telah jatuh seperti kembang
yang digetar oleh semilir sore

waktu terdiri dari banyak gerutu
dan ia tak mampu mengumpulkan
kembali pecahan diriku yang terbuang

juga pada mataku
telah lama menyadari bahwa
dirimu pun akan redup
seperti bayang bulan yang tak sampai

2023

juli


Kau telah mendorong pelan waktu,
mengempasku seperti semilir
pada langit tanpa cuaca.

mekar dan putih,
bagai wijaya kusuma di halaman rumah:
Kau menghadirkan tangisku,
pada setiap suara yang sementara.

hari ini,
bersiap untuk tiba, Kau
menuju tubuhku yang telah
mampu merengek tanpa kata.

Kau menyentuhku dengan tangannya
Kau menatapku dengan matanya.

dan Kau,
akan berbicara melalui bibirnya:
"cintaku akan sanggup menumbuhkanmu,
dan akan memperpanjang usiamu."

2023

 

agustus


menjelang terik terakhir,
panas agustus tak berfungsi lagi.
dan di dalam dirimu
cintaku mungkin telah retak kembali.

jejak kakimu mengeras sebelum udara lembab.
suara pun bisu, dan langkah jadi siasia
setelah aku pergi.

hanya ada semilir malam itu,
dan kau mungkin mengharapkan hujan
untuk meniadakan bekas pelukanku.

aku membayangkanmu menangis,
tetapi dari jauh, aku tetap merindukanmu.

jarimu yang dekat, bekas bibir yang dingin,
dan janji yang penuh khayal, masih terasa jelas
seperti dendam yang tak tuntas.

dalam getaran yang tak teredam,
aku masih mencintaimu.

walau tempatmu bukan lagi di sini,
di tempat katakata masih bisa didengar,

aku akan selalu mengingatmu.

2023

 

tahun ziarah (1)


gemerlap malam surut seketika,
dan tibatiba, kedipan matamu
tumbuh kembang seribu:
beragam rupa.

aku tak akan menua, sebab
telah lama suaramu masih terasa,
menjangkau diriku hingga jauh
menuju ufuk yang telah patah.

“dan debur yang pecah di depan mata,
adalah kasih yang tak pernah nyata.”

dan kita,
tak pernah meninggalkan kata
walau sekadar gema
di loronglorong degup suara.

2023

 

tahun ziarah (2)


dan batu itu,
yang memandang ke arah laut,
tetap diam walau lelah digempur debur.

dan mungkin ada waktu yang pecah,
seperti gelas yang retak,

ketika langkah kita mulai berjarak.

2023
 


TAGS :

Dimas Julian Anggada

Lahir di Pondok Pinang, Jakarta Selatan, 19 Juli 1998. Alumnus Sastra Indonesia di Universitas Pamulang. Hobi menonton film dan membaca buku, khususnya sastra. Beberapa karya puisi pernah dimuat di media Omong-omong Media, Sastramedia.com, Literasi Kalbar, Magrib.id, dan Beritabaru.co. Bisa disapa melalui Instagram: @dimasanggada

Komentar