Sembilan Puisi Gampang Prawoto

  • By Gampang Prawoto
  • 15 Januari 2022
Pexels

Sawit

 

Hutan hutan mereka bakar, binatang binatang liar berlarian menuju semak tilas pertanian dari musimnya yang terbengkalaikan sekedar mencari aman juga nyawa terselamatkan. Anak anak, lansia, sakit menahun di pembaringan dan telur telur mereka engkram hangus terlalap hanya sisakan puing puing tanpa sedikit penyesalan. 

Luas tanah-tanah rata tanpa hijau rumputan. Tanah-tanah berpagar lencana berlaras panjang pal-pal beton bertulang baja batas batas tak berbatas. Zona zona kekuasaan berbilang tak terbilang aksara aksara beselit tak bernama, berblok-blok tersewa tanpa tertera penikmatnya.

Politan merimbun daunan bersemayam ular,  kalajengking dan bisa bisa terwarkan hanya dengan bunga bunga rimba riba. Bumi air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya terlanjur digadaikan tanpa hari, bulan, dan tahun berakirnya. 

Sastrowidjojo, 23092021

 

Nyadran


hari ini siluet hari hari kemarin sedangkan kini bayang bayangan masa lalu. cermin cermin buram oleh abu perabuan jasad jasad leluhur hanya air mata penyesalan luka kedurhakaan akan menghapusnya dan sedikit demi sedikit tampak guratan  bayangan wajah leluhur dari wajah wajah kita sesungguhnya yang lapuk dari kurmat leluhur sendiri. 

"bisa ngomong ning ora bisa momong, eling ning ora bisa ngelingi, ora lali ning nglali."

#Jambonesia, 23072021

 


BILAH

bila meteor telah luluh lebur menjadikannya serpih urat urat bilah keris dalam tempaan tangan leluhur, masihkah kau ragukan cinta kasih langit padamu tatkala mentari ingsut sesaat mengeja lalu membaca pagi pada belahan belaham hati luasnya bumi.

bila uranium bersekutu pada titanium, nikel, juga logam logam mulia menjadi ruh keabadian wantah indah mengalir pamor bilah keris, masihkah kau tak percaya pada ketulusan cinta kasih bumi padamu tatkala gunung gunung memacu detak nadi bergetar menyapa hati, teteskan air mata lava sebatas luapan emosi rindu.

bila leluhurmu menyatukan energi langit dan bumi, mengajarkan kasih alam jagad raya cinta sesama
masikah kau durjana menutup mata telinga rasa 
yang durhaka. 

Sastrowidjojo,17082021

 

Kunci


sura masih setia 
membuka awal warsa 
tanpa kancing dan derit pintu  
tiada penjaga berselempang pedang
tegap tegang berwajah garang.

saji saji bumi membagi wangi
bunga bunga merupa warna
nyala dupa berasapkan cendana
bara kemenyan berkeluk keangkasa
mantra mantra berseliweran
tanpa saling tatap dan saling sapa.

tengah malam
gembok gembok membagi sepi
kunci hati merapal sunyi
antara rahasia dan sandi.

Sastrowidjojo, 03092021

 


Sketsa Rasa


hijau kemerahan 
berbagi pucuk lembut bersemi
menanam tahun bergugur daun
tulus menyulam nadi semesta. 

angin melirih hawa
mengembara memilah nadi
santun menyapa alam raya 
welas asih sesama.

subur tanah tanah 
gembur lumat  melumpur
biji biji berbuah biji 
menanam memilih memanen 
kelezatan memulihkan kehidupan.

api menyengat hati
menginjak menanak saripati 
menjejak bumi menyuapi pepadi
menyusui nafsu nafsu berahi 
menyusuri sketsa sketsa rasa 
telapak telapak baru
berganti. 

Sastrowidjojo,04092021

 

Mabuk


Kalau ombak lautan menjadikanmu mabuk, sekejap  menepilah barang sejenak di gisik gisik pantai. Pasir pasir akan bercerita tentang kedalaman samudra, kedangkalan kedangkalan logika, pasang dan surut juga buih buih riuh gemuruh di permukaan kata. 

Kalau pohon pohon siwalan
menjadikanmu mabuk, bukan salah papa menanam di tandus keringnya batu batu. Legen dan toak tertuang dalam centhak mewarna sama sama pethak. Bukan salah mama meneguk, bila keringnya tenggorokan tak bisa ditahan namun hausnya harta pangkat drajat dan kekuasaan menjadikanmu telanjang terasa berbusana. 

Tasikmadu, 05092021

 

Terkepung Doa


Kota terkepung doa, tangan-tangan tengadah ke langit memintal alam dari kelam kelunya kehidupan. Pagar gaib serupa dinding beton berkaca menjulang membatas kaki-kaki melangkah halau tangan-tangan menyuapi mulut-mulut pahit yang terlantar asupan saripati bumi. Hari-hari tersayat syahdu keroncong
mengirama lambung lumbung busung lambang peradaban sungsang dari sebuah jaman.

Desa-desa mengepung doa, tangan-tangan-tangan tengadah ke angkasa melingkar memutar ambeng tanpa buceng. Nasi putih setulus pengharapan yang tertunda oleh musim dari ketidakpastianya,  urap lembayung, daun kenikir, kacang panjang yang lungse tanpa lupa kelapa parut menghias asin,  pedas, gurih senantiasa  tercecap lidah sepanjang masa senada pinta-pintanya dari kemarau yang hujan dan penghujan yang kamarau. 

sastrowidjojo,26092021

 


Kali  Apur

 

Sedapur bambu di bantaran sungai  daun daunnya memutih terpanggang matahari, akar akar melata jarak  memburu asupan cinta penyeka dahaga dari gugur luruhnya serak dedaun genangi kaki kali. 

Berkelok kilo sungai sungai terkebiri mengering tanpa syahwat berahi, kulitnya kusam berkerak retak pecah mengelupas memar merah. Kali-kali membuang sepah memandikan sampah mengalir limbah.

Musim menepi mengganti bulu bulu bulan, langit memintal awan lalu tawarkan gerimis berbagi hujan menyapa resah debu tanah tanah membasah dan daun-daun senyap menahan senyumnya. 

Sungai-sungai menggenangi sawah, jalan, dan rumah. Sungai-sungai mengungsi membangun pemukiman pemukiman baru. Amdal menyerupa sandal terapung hanyut bersama derasnya arus banjir. 

Bojonegoro, 23102021

 

Santri  Ngawen


berpijak bumi
tengadah matahari
beralas gapyak gapyak jati
mendongak hujan, menyelami perigi
petak petak rumah berpahat tradisi
geladak tua kayu berlantai
tikar pandhan tergelar merumbai
berpagar pohon kelapa julang tinggi
teplok minyak tanah menerangi
kiai melantun kitab suci
fasih ajarkan kehidupan hakiki 
welas asih cinta kasih sejati
hormat saling menghargai
memberi dan berbagi
menyiasati hidup menyikapi mati
nasi liwet  ikan teri sambal terasi
tahun tahun bulan dari hari
tanam akhlak rawat budi pekerti
menyusuri panjang sungai sungai
hulu hilir teraliri
bermuara lautan hati 
santri mengaji.

Bulu Brangsi, 22102021
 


TAGS :

Gampang Prawoto

Menulis dalam bahasa Jawa dan Indonesia dan sering menggunakan nama samaran Sastrowidjojo. Pria kelahiran 23 Oktober 1971 di Bojonegoro ini pernah kuliah jurusan Bahasa dan Sastra Universitas Adi Buana Surabaya dan  UMM Universitas Muhammadiyah Malang. Sehari-hari aktif mengajar di SDN Pejambon Sumberrejo Bojonegoro. Carik di Sanggar Pamarsudi Sastra Jawi Bojonegoro (PSJB), anggota Kostela Lamongan, Among di “Sanggar  Sastrowidjojo" dan ketua LKD “Lembaga Kebudayaan Desa Pejambon”. Antologi tunggalnya mendapat penghargaan Balai Bahasa Jawa Timur 2014 selain Puser Bumi (2013) yang pernah terbit adalah Babat Windu (1997) dan Suluk Berahi (2017), dan Mabur Saka Swarga (2021).

Puisi dan geguritannya termuat di sejumlah media, seperti Majalah Sastra Indhupati, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Damar Jati, Pujangga Anom, Radar Bojonegoro, Jurnal Tempe Bosok Solo, Tabloit Serapo, Majalah Panji, Solo Pos dan media cetak  lainya.

Komentar