LIMA PUISI NGADI NUGROHO

  • By Ngadi Nugroho
  • 15 Agustus 2023
Indah As

PUKUL 5 SORE

Matahari mulai melingsup pulang
Warna jingga pun mulai mengambang
Wajah-wajah semburat kelelahan
Deru yang menyumpal awan
Dibawa debu jatuh di pipimu

Mata menggantung ingin kembali ke rumah
Menidurkan jegah yang tak sudah-sudah
Seperti pukul 5 sore ini
Setiap waktu, masa depan membidikkan rasa ketakutan

Roda-roda yang berputar tak pernah peduli
Derit tulang mulai meruncingkan rasa sakit ini
Semua merenta, juga sebuah kalender di dinding
yang masih kekal bertahan
Tak ada yang mau menggantikan
Namun waktu, terus saja berjalan
Walau perih kaki tetap tugur berdiri
Sampai mati
Sampai mati

Semarang, 2023

 

ITU WAJAH SIAPAKAH

Itu wajah siapakah? Di depan cermin menghitung uban. Namun dia tak mau waktu merenta selekas itu. Senyum ditarik dengan benang. Keriput dikencangkan. Namun kenangan tetap saja pelan-pelan hilang.

Itu wajah siapakah? Hampir-hampir Tuhan pun tak mengenalnya. DicariNya buku-buku silsilah. Yang dilukis  dari segumpal darah. Tak ada bekas-bekas gurat pelukan ayah. Ciuman ibu pun mulai sirna.

Itu wajah siapakah? Tuhan tak pernah menciptanya.

Semarang, 2023

 

AKU INGIN MENDENGAR SUARA AZAN

Aku ingin mendengar suara azan. Aku ingin mendengar suara azan. Merayap pelan. Merayap pelan. Hingga tiba-tiba sekepal jantung ikut bergetar. Menyebut Engkau di setiap detik waktu. Hingga robek dadaku. Menggigilkan lututku, bersujud padaMu.

Aku ingin mendengarkan suara azan. Aku ingin mendengar suara azan. Seperti panggilan kekasih kepada kekasihnya. Merayuku dengan kelembutan. Hingga pintu-pintu cinta itu terbuka semuanya. Meneroboskan ruang sukma, menuju surga yang entah ada di mana.

Aku ingin mendengar suara azan. Sayup-sayup mengendapkan ingar, mengistirahatkan gerak pikiran.

Hanya menuju Tuhan.

Semarang, 2023

 

TUBUH YANG TERLANJUR MENGERAM PADA SEBUAH KOTA

Mungkin sebuah kota dibangun dari deru dan bising. Hidup seolah seperti kincir menggasing. Mungkin terlalu lelah tangan-tangan ini memeluk bebatu kehidupan. Hingga gereja dan masjid-masjid semakin banyak menangkap wajah-wajah murung bercadar kesedihan. Serangkaian khotbah seperti layang-layang putus benang. Di jalanan, di kantor, di rumah, seribu firman menyublim terbang ke awan.

Tak ada yang bisa tumbuh dalam jantung ini seperti bunga gladiol yang mekar. Hari-hari semakin berlobang-lobang dan samar-samar. Selayaknya baju kusam penuh tambal sulam berwarna buram. Tapi ada jejak jingkat-jingkat kaki. Dengan kepalanya menulisi tembok-tembok kota dengan tanya. Esok akan seperti apakah nanti? Ah sudahlah, tubuh-tubuh terlanjur mengeram pada sebuah kota. Sedangkan di punggung waktu, tanya itu tak ada artinya.

Semarang, 2023

 

TUSAM

Engkau meruncing menusuk udara
Seperti tangan-tangan yang bergetar tertiup angin
Mungkinkah engkau tengah berdoa
Malam-malam kemarin

Ada beberapa tetes embun menyelinap
Diembus angin dia ikut terbang
Namun dia masih ingat
Gemerisik daunmu seperti seribu kecupan
Waktu malam melahirkan bulan
Warna emas mengkilap di ujung daun tusam
Ketika malam tetaplah hitam
Tetap hitam

Astana Kuntul Nglayang, 2023


TAGS :

Ngadi Nugroho

Lahir di Semarang, 28 Juni. Sekarang ini aktivitas sehari-hari di Kota Kaliwungu. Suka dengan sastra dan menulis khususnya sajak/puisi. Beberapa kali puisinya tayang di media online dan majalah juga antologi bersama. Bisa disapa lewat email : [email protected].

Komentar